Pakar Hukum Tata Negara Sebut Seharusnya Pegawai KPK Tak Lolos TWK Menang di MK

Pakar Hukum Tata Negara Sebut Seharusnya Pegawai KPK Tak Lolos TWK Menang di MK
Para pegawai KPK yang tak lolos tes wawasan kebangsaan diprediksi bakal memenangkan gugatan atas UU No. 19 tahun 2019 di Mahkamah Konstitusi lantaran memiliki posisi hukum yang kuat (Foto: ANTARA/M RISYAL HIDAYAT)

METROSIDIK.CO.ID, JAKARTA — Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran Susi Dwi Harijanti memprediksi gugatan para pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK) bakal dikabulkan oleh hakim Mahkamah Konstitusi (MK).

Menurutnya, para pegawai itu memiliki dalil dan posisi hukum yang kuat terkait pengajuan gugatan atas UU Nomor 19 tahun 2019 tentang KPK.

“Harusnya dikabulkan karena ini kuat sekali. Argumentasi dari pemohon ini kuat sekali. Jadi pemohon ini punya kekuatan di legal standing,” kata Dwi saat dihubungi CNNIndonesia.com, Senin (7/6/2021).

Baca juga  MK Tolak Gugatan Pilkada Kepri, Kukuhkan Kemenangan Ansar-Marlin

Uji materi TWK KPK dilayangkan pada Senin (2/6) lalu, oleh sejumlah pegawai KPK yang dinyatakan tak lulus asesmen menjadi ASN. Mereka menggugat sejumlah pasal dalam UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK yang mengatur soal peralihan pegawai menjadi ASN.

Yakni, pasal Pasal 69B ayat (1) dan Pasal 69C undang-undang tersebut. Mereka menilai, dua pasal itu bertentangan dengan pasal 1, pasal 28D ayat 1, 2 dan 3 UUD 1945.

Gugatan masing-masing diajukan terhadap pasal Pasal 69B ayat (1) dan Padal 69C undang-undang tersebut. Mereka menilai, dua pasal itu bertentangan dengan pasal 1, pasal 28D ayat 1, 2 dan 3 UUD 1945.

Baca juga  KPK Sita Dokumen Bansos yang Digarap 2 Perusahaan untuk Jabodetabek

Baca juga: Babak Baru Perlawanan Pegawai KPK yang Terbuang
Dwi menilai pasal 69B dan 69C dalam UU KPK Nomor 19/2019 bermasalah, sebab tak memberikan ketidakpastian. Menurut dia, kedua pasal itu tak memenuhi fungsi peralihan pegawai yang mestinya memberi kepastian hukum.

Adapun, bunyi pasal 69B ayat 1 yang dimaksud berbunyi sebagai berikut.

“Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, penyelidik atau penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi yang belum berstatus sebagai pegawai aparatur sipil negara dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku, dapat diangkat sebagai pegawai aparatur sipil negara sepanjang memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Baca juga  KPK Periksa Sejumlah Saksi Untuk Selusuri Penunjukan Vendor Bansos

Dwi mengkritik penggunaan kata ‘dapat’ dalam pasal tersebut, yang menurut dia menimbulkan ketidakpastian hukum. Begitu pula di pasal berikutnya, yakni 69C. Dua pasal itu diketahui menjadi landasan pelaksanaan asesmen dan TWK terhadap pegawai sebelum diangkat menjadi ASN.

Baca juga: Polemik TWK KPK, Perlawanan Pegawai Berlanjut ke MK
Dengan penggunaan kata ‘dapat’, kata Dwi, pelaksana UU dalam hal ini KPK, dinilai sah jika melakukan ataupun tidak melakukan asesmen atau TWK terhadap pegawai. Sehingga, katanya, hal itu menimbulkan ketidakpastian.

“Kalau kata ‘dapat’, berarti bisa diangkat. Bisa tidak diangkat. Nah, penggunaan kata ‘dapat’ inilah yang kemudian menimbulkan masalah yaitu dia memberikan ketidakpastian,” katanya.

Dwi setuju dengan gugatan para pemohon yang menilai pasal itu bertentangan dengan sejumlah pasal dalam UUD 1945. Dua di antaranya pasal 1 dan 3 tentang prinsip negara hukum. Dua pasal itu mendefinisikan beberap asas dalam prinsip negara hukum, di antaranya asas kepastian.

Baca juga  Kadin Minta Sektor Manufaktur dan Ritel Dibuka 100% Dengan Syarat Sudah Divaksin

Menurutnya, asas kepastian mengandung dua unsur, yakni ketepatan dan proporsionalitas. Dengan kata ‘dapat’, katanya, maka pasal 69B dan 69C dalam UU KPK Nomor 19/2019 tidak memenuhi asas kepastian dalam prinsip negara hukum tersebut.

“Dengan menggunakan kata ‘dapat’ maka dia, dapat ditafsirkan bisa dilakukan bisa tidak dilakukan. Berarti dia nggak klir,” katanya.

Baca juga  KPK: Sudrajad Dimyati Bermain di Beberapa Perkara Perdata

Baca juga: Istana Lepas Tangan soal TWK KPK: Itu Sudah Urusan Internal
Selain itu dalil hukum yang kuat, Dwi menilai para pemohon juga memiliki legal standing yang kokoh. Para pemohon, yang juga merupakan pegawai yang dinonaktifkan, menurut Dwi, adalah kasus konkret alias faktual. Mereka adalah pihak yang telah dirugikan hak konstitusionalnya.

Oleh sebab itu, menurut Dwi, secara materiil dan kedudukan hukum, mestinya sulit untuk menolak gugatan para pemohon terkait TWK KPK. Kecauli, katanya, MK dalam perkara ini bermain sebagai aktor politik.

“Kita akan melihat bagaimana MK dalam situasi seperti ini dia akan bermain dalam sistem politik,” kata dia.

 

 

jasa website rumah theme

Pos terkait