Meski demikian, Effendi mengakui sempat bertemu dengan Adi Wahyono saat menjadi moderator dalam seminar nasional riset tentang bansos pada 23 Juli 2020. Saat itu Effendi mengaku meminta agar kuota pengadaan bansos juga diberikan kepada UMKM.
“Jangan orang terzalimi dong, kan tidak semua orang itu apa namanya langsung jatahnya diambil dibagi-bagi sama yang besar-besar, yang itu kan tujuannya adalah UMKM dan dia tidak didirikan hanya pada saat proyek itu,” kata Effendi.
Effendi menyebut terzalimi yang dimaksudnya adalah kalah bersaing dengan perusahaan-perusahaan besar. “Ya kan kalah bersaing dengan ‘dewa-dewa’. Ya karena kuotanya sudah habis diambil ‘dewa-dewa’,” katanya.
Namun, Effendi membantah pernyataannya tersebut terkait kuota salah satu UMKM, yakni CV Hasil Bumi Nusantara. Berdasarkan informasi, CV Hasil Bumi Nusantara mengerjakan 162.250 paket pada tahap pertama dengan nilai kontrak Rp 48.675.000.000. Pada tahap ke-8, CV Hasil Bumi Nusantara mengerjakan 20.000 paket dengan pelaksana Susanti.
“Jangan berbicara satu, kami waktu itu berbicara tentang banyak yang UMKM, mengenai siapa kemudian dapat berapa silakan tanya ke penyidik,” katanya.
Sayangnya, Effendi tidak menjelaskan secara terang maksud pernyataannya mengenai ‘dewa-dewa’ itu. Effendi justru mempertanyakan, kapan pihak-pihak yang lebih besar atau ‘dewa-dewa’ terkait kasus bansos ini dipanggil dan diperiksa oleh penyidik KPK.
“Saya sudah datang, saya sudah dipanggil sudah memenuhi panggilan walaupun cuma di WA ya kan. Saya datang yang besar-besar kapan nih dipanggilnya, silakan bapak dan ibu cari sendiri,” katanya.
Diberitakan, KPK menetapkan Juliari P Batubara selaku Mensos bersama Adi Wahyono dan Matheus Joko Santoso selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Kemsos serta dua pihak swasta bernama Ardian IM dan Harry Sidabuke sebagai tersangka kasus dugaan suap bansos Covid-19 untuk wilayah Jabodetabek.
Juliari dan dua anak buahnya diduga menerima suap senilai sekitar Rp 17 miliar dari Ardian dan Harry selaku rekanan Kemsos dalam pengadaan paket bansos Covid-19 untuk wilayah Jabodetabek tahun 2020.
Kasus ini bermula dari pengadaan bansos penanganan Covid-19 berupa paket sembako di Kementerian Sosial tahun 2020 dengan nilai sekitar Rp 5,9 triliun dengan total 272 kontrak pengadaan dan dilaksanakan dengan dua periode.
Juliari selaku Menteri Sosial menunjuk Matheus Joko Santoso dan Adi Wahyono sebagai Pejabat Pembuat Komitmen dalam pelaksanaan proyek tersebut dengan cara penunjukkan langsung para rekanan. Diduga disepakati adanya fee dari tiap-tiap paket pekerjaan yang harus disetorkan para rekanan kepada Kementerian Sosial melalui Matheus Joko Santoso. Fee untuk setiap paket bansos disepakati oleh Matheus dan Adi Wahyono sebesar Rp 10.000 per paket sembako dari nilai Rp 300.000 per paket bansos.
Selanjutnya Matheus dan Adi pada Mei sampai dengan November 2020 membuat kontrak pekerjaan dengan beberapa penyuplai sebagai rekanan di antaranya Ardian IM, Harry Sidabuke, dan juga PT Rajawali Parama Indonesia (RPI) yang diduga milik Matheus. Penunjukan PT RPI sebagai salah satu rekanan tersebut diduga diketahui Juliari dan disetujui oleh Adi Wahyono.
Pada pelaksanaan paket bansos sembako periode pertama diduga diterima fee Rp 12 miliar yang pembagiannya diberikan secara tunai oleh Matheus kepada Juliari Batubara melalui Adi dengan nilai sekitar Rp 8,2 miliar. Pemberian uang tersebut selanjutnya dikelola oleh Eko dan Shelvy N, selaku orang kepercayaan Juliari untuk digunakan membayar berbagai keperluan pribadi Juliari.
Untuk periode kedua pelaksanaan paket bansos sembako, terkumpul uang fee dari bulan Oktober 2020 sampai dengan Desember 2020 sejumlah sekitar Rp 8,8 miliar yang juga diduga akan dipergunakan untuk keperluan Juliari.
Sumber: