Oleh: Muh Nasrul Arsyad, SE. SH. M.Si, CPT
Ketua Kadin Anambas, Calon Advokat
Beberapa waktu lalu, tepatnya pada Jum’at (26/7/2024) masyarakat di Kabupaten Kepulauan Anambas berduka, atas kecelakan kapal motor KM Samarinda. Pihak berwenang, menyebut empat orang dinyatakan meninggal dunia. Kapal motor ini dalam praktek keseharian, dimanfaatkan sebagian warga sebagai alat transportasi umum selama bertahun-tahun pada dua pulau yakni Siantan dan Palmatak.
Sebagai warga Anambas, tentu kita patut prihatin dan berduka cita yang mendalam atas peristiwa naas tersebut, terutama kepada keluarga korban meninggal dunia. Terkini, Nakhoda kapal KM Samarinda, dinyatakan tersangka dan ditahan pihak aparat penegak hukum (Polres Kepulauan Anambas). Tentu sebagai calon penegak hukum dalam sistim peradilan Indonesia (Advokat, Polisi, Jaksa, Hakim), penulis menghormati langkah kepolisian tersebut, sebagai upaya preventif dan deterrent effect (efek jera). Penahanan Nakhoda KM Samarinda karena diduga melanggar pasal 302 ayat (3) UU No 17 Tahun 2008 tentang palayaran, jo Pasal 361 dan atau 359 UU No 1 Tahun 1946 tentang KUH. Pidana.
Secara historical, keberadaan kapal motor yang terbuat dari kayu itu, sebagaimana masyarakat Anambas menyebut ‘pompong’, telah menjadi alat transportasi antar pulau, selama puluhan tahun. Selain itu tentu ada juga model transportasi laut lainnya seperti speed boat yang terbuat dari fiber.
Dalam konsep ekonomi, keberadaan pengusaha penyedia transportasi pompong dan speed boat tersebut, tentu melihatnya sebagai peluang bisnis yang saling membutuhkan dan kemudian menyusul saling menguntungkan (Simbiosis mutualisme) antara penyedia jasa pelayaran dan masyarakat yang ingin menyeberang pulau. Di antara dua ini, secara alamiah memunculkan hukum ekonomi yang disebut penawaran dan permintaan (supply and demand).
Hukum Bisnis dan Pidana
Selanjutnya, dalam konteks hukum bisnis, sebagaimana disebut dalam UU No 17 Tahun 2008 Pasal 3 Huruf a, “bahwa pelayaran diselenggarakan dengan tujuan memperlancar arus perpindahan orang dan/atau barang melalui perairan dengan mengutamakan dan melindungi angkutan di perairan dalam rangka memperlancar kegiatan perekonomian nasional”.
Dalam hubungannya dengan perekonomian, peran pemerintah baik pusat maupun daerah wajib memberikan pembinaan dalam rangka memperlancar arus perpindahan orang dan/atau barang secara massal melalui perairan dengan selamat, aman, cepat, lancar, tertib dan teratur, nyaman, dan berdaya guna, dengan biaya yang terjangkau oleh daya beli masyarakat.
Hal itu dipertegas pasal 5 ayat (7) UU tersebut, di mana hal ini ‘menyeret’ peran pemerintah daerah melakukan pembinaan pelayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (6) sesuai dengan kewenangannya.
Ditinjau dari persfektif kebijakan publik, pemerintah (pusat dan daerah) wajib menyelenggarakan pelayanan publik di bidang transportasi public service obligation (PSO), hal ini berlandaskan Pasal 34 Ayat 3 UUD 1945 yang mengatur bahwa “Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak” kemudian diturunkan dalam bentuk UU No 25 Tahun 2009 tentang pelayanan publik.
Dalam konteks kebijakan kebijakan public tersebut diatas, sangat tidak bijak, jika beban kesalahan kecelakaan kapal KM Samarinda seruluhnya ditimpakan kepada kepada penyedia jasa transportasi tanpa mempertimbangkan asas kemanfaatan selama bertahun-tahun.
Pertanyaan sekarang adalah, siapa sesungguhnya yang patut disalahkan? dan siapa pula yang patut menanggung beban kesalahan tersebut?. Apakah hanya nakhoda/pemilik kapal? atau pihak regulator pelayaran (syahbandar)? dan atau bahkan juga dapat ‘menyeret’ pemerintah daerah?. Jika merunut pada peraturan perundang-undangan yang ada, menurut temuan penulis ada banyak pihak yang dapat terlibat secara tanggung renteng sesuai kewenangannya.
Seperti misalnya, menuntut peran dan tanggung jawab Syahbandar, yang patut dapat diduga lalai dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya sebagai regulator pelayaran. Hal itu tentu memiliki dasar hukum, yaitu sebagaimana disebut pada pasal 207 (1) UU 17/2008 yakni Syahbandar melaksanakan fungsi keselamatan dan keamanan pelayaran yang mencakup, pelaksanaan, pengawasan dan penegakan hukum di bidang angkutan di perairan, kepelabuhanan, dan perlindungan lingkungan maritim di pelabuhan.
Dan jika lalai, tentu ada pasal yang bisa menjeratnya, misalnya pasal 336 (1) UU 17/2008 atau dapat ditemukan pada peraturan perundang-undangan lainnya, terkait dengan perbuatan melawan hukum (PMH) bagi pejabat atau penyelenggara negara.
Dalam konteks hukum bisnis ataupun hukum adminitrasi negara, maka selayaknya, asas ultimum remedium yaitu asas hukum pidana Indonesia yang menggunakan hukum pidana sebagai jalan terakhir dalam penegakan hukum, dapat menjadi pilihan penegakan hukum terhadap kasus KM Samarinda.
Penulis, tentu tidak bermaksud memperluas jangkauan pemidanaan dalam proses penegakan hukum terhadap KM Samarinda. Namun, menurut pandangan penulis, perlu dicari alternatif penegakan hukum secara bijak. Efek jera, tentu perlu diterapkan, sebagaimana saat ini Nakhoda KM Samarinda telah menjalani penahanan selama 20 hari ke depan, gunanya agar peristiwa tersebut tidak terulang, baik oleh tersangka maupun oleh orang lain dikemudian hari.
Pendekatan Restorative Justice (Keadilan Restoratif)
Untuk tindaklanjut proses perkara pidana terhadap nakhoda KM Samarinda yang saat ini telah bergulir di kepolisian, penulis berpandangan perlu menempuh upaya proses penegakan hukum alternative, yaitu sedapat mungkin menempuh pendekatan restorative.
Pendekatan restorative atau Restorative Justice adalah suatu proses penyelesaian tindak pidana yang bertujuan untuk memulihkan keadaan sosial maupun psikologis antara pelaku (tersangka) dengan pihak korban ataupun keluarga korban, sehingga dikemudian hari, tidak terjadi saling dendam atara kedua pihak. Termasuk didalamnya, ganti rugi terhadap korban (ataupun bentuk kompensasi atau restitusi lainnya) melalui cara-cara tertentu yang disepakati oleh para pihak yang terlibat.
Kepolisian, Kejaksaan sebagai lembaga yang diberi wewenang dalam hal penyidikan dan penuntutan dalam perkara pidana, tentu juga diberi wewenang untuk melakukan penghentian perkara pidana, melalui Peraturan Polri Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif (Perpol No. 8 Tahun 2021) dan Peratuaran Jaksa Agung RI nomor 15 tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Menurut pendapat Tony F. Marshall, restorative justice adalah sebuah proses dimana semua pihak yang berkepentingan dalam pelanggaran tertentu bertemu bersama untuk menyelesaikan secara bersama bagaimana menyelesaikan akibat dari pelanggaran tersebut demi kepentingan masa depan.
Pihak yang terlibat dalam restorative justice yaitu mediator, korban dan keluarganya, pelaku dan keluarganya dan wakil masyarakat. Adapun prasyarat pelaksanaan restorative justice adalah :
- Pernyataan bersalah dari pelaku
- Persetujuan korban
- Persetujuan pihak aparat penegak hukum
- Dukungan masyarakat setempat
Penerapan Restorative justice atau sering diterjemahkan sebagai keadilan restoratif bukanlah konsep yang baru dalam sistem hukum pidana. Restorative justice adalah sebuah konsep pemikiran yang merespon pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitikberatkan pada kebutuhan pelibatan masyarakat dengan mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat ini. Keadilan restoratif merupakan suatu pendekatan yang menitikberatkan pada adanya partisipasi langsung pelaku, korban, dan masyarakat dalam proses penyelesaian perkara pidana.
Prinsip-prinsip tersebut telah dituangkan dalam Declaration of Basic Principles of Justice of Crime and Abuse of Power, 1985. Prinsip-prinsip Dasar Restorative Justice tersebut kemudian dikembangkan oleh The United Nation Commission on Crime Prevention and Criminal Justice sebagai panduan Internasional untuk membentuk negara-negara yang menjalankan program restorative justice.
John Braithwhite berpandangan, bahwa restorative justice adalah proses dimana semua pihak yang terlibat pelanggaran tertentu bersama- sama memecahkan secara kolektif bagaimana untuk menghadapi akibat pelanggaran dan implikasinya pada waktu yang akan datang. Semoga tulisan ini, dapat menjadi pencerahan bagi masyarakat dan terutama kepada aparat penegak hukum, dalam kasus pemidanaan tenggelamnya KM Samarinda, tanpa bermaksud mengenyampingkan duka dan sedih terhadap keluarga korban meninggal dunia.
Selain itu, penerapan restoratif justice juga menjadi ikhtiar dalam bentuk pemikiran penulis, terhadap pembenahan sistim pelayanan publik dalam mendukung perekonomian secara makro di Kabupaten Kepulauan Anambas.
Tentu kita berharap, peristiwa KM Samarinda tidak terulang lagi dan seluruh stakeholder di Kepulauan Anambas termasuk Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau dapat menjadikan peristiwa tersebut sebagai pelajaran berharga dalam membenahi sistim transportasi laut di Kabupaten terluar Indonesia ini. Semoga…! (***)