Melihat dan mencermati dunia politik, khususnya politik di Indonesia kadang tidak bisa dilihat secara linier atau garis lurus saja. Politik sejatinya tetap sebuah seni untuk mencapai suatu kekuasaan. Kalaupun saat ini bisa kita asumsikan dari A menuju ke B. tetapi dalam politik kita harus ke C atau D terlebih dahulu, untuk pada akhirnya kembali ke B, sesuai tujuan awal.
Begitu juga kita melihat “riak-riak” kecil yang terjadi di dalam tubuh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI – P). Ketika seorang anak dari Ketua Umum , menjabat Ketua DPP pusat, yang juga merangkap ketua DPR serta orang yang dianggap bakal meneruskan trah Soekarno, mengadakan acara dengan judul menterang yakni “Penguatan Soliditas Partai Menuju Pemilu 2024”, di Semarang Jawa Tengah.
Maka publik langsung bertanya tanya kenapa Sang Gubernur yang notabene masih kader PDI P yang tinggal di Semarang, yang elektabilitasnya menuju 2024 sangat tinggi, sampai tidak diundang ke acara tersebut ? Kita sebagai masyarakat dan pemilih nantinya harus bisa melihat dengan jernih berbagai kemungkinan atas apa yang terjadi atas acara tersebut dan hubungannya terkait Pilpres 2024.
Rivalitas
Pandangan pertama tentu kita akan melihat secara linier saja, tentang apa yang terjadi. Dari berbagai pembahasan pada intinya yang akan keluar sebagai kesimpulan adalah bahwa ; Sang Putri Mahkota berusaha menjegal saingannya untuk medapatkan tiket presiden 2024 dari partai yang dipimpin oleh Ibu nya sendiri.
Apa yang terjadi kemaren tentunya bukan lagi sindiran tetapi benar-benar senjata yang dirancang menusuk jantung Sang Gubernur. Bayangkan saja acaranya diselenggarakan di halaman rumahnya tetapi dia sendiri tidak diundang. Bahkan barangkali kalau ada partai lain membuat hajatan di daerah kekuasaannya, kemungkinan besar Sang Gubernur-pun masih diundang sebagai tamu kehormatan karena posisinya sebagai kepala daerah.
Putri Mahkota seakan ingin memberi pelajaran siapa yang sebenarnya paling berkuasa atau yang paling dekat dengan yang berkuasa. Dengan hak istimewa karena adanya aliran darah dari Sang Ketum, Putri Mahkota ingin mengatakan kamu itu bukan siapa-siapa tanpa Partai Ibu-ku. Tidak ada kader yang boleh lebih besar dari partai.
Lantas mengapa sasarannya Sang Gubernur? Tentu karena dari berbagai survey yang ada, dialah kader yang memang sangat potensial untuk dimajukan, karena Presiden yang sekarang sudah tidak bisa mencalonkan lagi. Sudah cukup 10 tahun. Kita setuju bahwa tujuan utama berdirinya partai politik adalah menjadi yang paling berkuasa. Dan hal itu telah diserahkan kepada orang lain, bukan lingkaran dalam atau yang punya pertalian darah dengan Soekarno.
Sang Putri Mahkota bukan nya tidak berusaha dan juga Ibu Ketum tidak tinggal diam dalam mendongkrak elektabilitas Sang Putri Mahkota, dari jabatan di dalam partai sendiri yang mungkin hanya kalah dari Ketum dan Sekjen, pernah menjadi Menko, bayangkan Menko untuk usia segitu, bukankah itu adalah satu prestasi yang mantap. Dan bahkan sekarang duduk menjadi ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), jabatan yang sangat – sangat bergengsi seharusnya. Dimana kedudukannya boleh dibilang setara dengan Presiden.
Kalau Presiden dipilih langsung oleh rakyat, ketua DPR dipilih oleh para wakil rakyat yang secara hukum adalah perwakilan dari setiap rakyat Indonesia, jadi bisa dikatakan ketua DPR adalah juga mempresentasikan suara rakyat Indonesia. Hanya berbeda dalam peran dan tanggungjawab saja.
Tetapi publik pun tidak bodoh, publik juga mahfum bagaimana kinerja dari Sang Putri Mahkota selama menduduki jabatan-jabatan tersebut. Apa Indikatornya ? Raport kinerjanya paling mudah dapat dilihat pada survey apakah sang putri layak menjadi Presiden selanjutnya? Dapat dipastikan Sang Putri tidak akan masuk dalam 5 besar.
Maka untuk berbagai alasan diatas, kegiatan di Semarang dan tindakan putri mahkota adalah cara untuk menjegal Sang Gubernur supaya tidak mendapatkan tiket, minimal tidak lewat partainya sendiri. Atau setidaknya mengingatkan siapun yang mau maju harus tunduk setunduk tunduknya kepada trah Soekarno. Itulah kalau kita bicara bahwa politik linear, apa yang terjadi di depan mata itu juga yang terjadi di belakang layar.
Strategi
Namun kita juga tidak bisa menutup kemungkinan banyak hal lain yang dimungkinkan terkait peristiwa diatas. Ingat, proses politik harus dilihat yakni siapa yang memegang kekuasaan pada akhirnya. Tidak perlu heran kalau dalam prosesnya ada yang lari sana lari sini, loncat sana loncat sini, bahkan sampai ada yang harus dikorbankan demi terwujudnya cita-cita partai.
Manuver putri mahkota bisa dianggap juga bagian tidak terpisahkan dari strategi PDI P dalam menyonsong 2024. Banyak juga yang berpendapat ini adalah hanya permainan awal yang dilakukan PDIP untuk melihat respon masyarakat, tidak lebih dari “test in the water”.
PDIP mengetahui bahwa 2024 mereka tidak bisa lagi mencalonkan Presiden petahana untuk yang ketiga kalinya karena terbentur peraturan undang-undang. Di dalam internal rasanya tidak mungkin mengajukan Sang Ketua Umum untuk bertarung di pilpres, karena pengalaman 2 kali ikut, dua kali juga gagal, walaupun notabene saat itu mereka menjadi partai pemenang pemilu. Trah biologis Soekarno yang lain yakni anak-anak ketua umum, walaupun sudah disokong sedemkian rupa, ternyata elektabilitasnya tidak bisa bergerak bahkan untuk angkat di atas 5 persen sangat susah.
Rupanya munculah nama Sang Gubernur, pelan tapi pasti dengan caranya sendiri (gabungan antara kharisma, kinerja, serta serangan udara yang tersusun rapi) berhasil menaikkan elektabilitasnya, dan selalu bersaing dalam 3 besar dengan lawan potensial dari partai lainnya.
PDIP bukannya tidak mengetahui hal tersebut, mereka juga sadar bahwa saat ini pemilih sangat bergantung pada figure bukan lagi pada partai politik. Maka dengan melihat hal itulah Sang Gubernur ini harus terus dijaga elektabilitasnya tetapi juga Sang Putri Mahkota tetap menjadi cadangan kalau kalau ada tsunami politik di Indonesia.
Pemilih di Indonesia khususnya dalam memilih Presiden secara langsung, karakternya pastinya sudah dipelajari oleh para elite politik yang berkolaborasi dengan para ahli. Salah satu yang paling mencolok tipikal yang dipilih oleh pemilih adalah mereka akan memilih “orang yang terzalimi, orang yang diasumsikan lemah, orang kecil, orang yang diasumsikan terbuang dari kekuasaan”.
4 ( empat) periode dengan dua Presiden berhasil naik dengan status “ orang tersakiti” dan “orang kecil” baik Presiden sekarang maupun Presiden sebelumnya (tentunya PDIP hapal luar kepala ceritanya bagaimana). Strategi dan skenario tersebut bukan tidak mungkin dicoba lagi kepada Sang Gubernur ini. Indikator bahwa ini hanyalah strategi PDIP untuk mendongkrak elektabilitas sang Gubernur sebetulnya juga bisa dilihat.
Ini baru tahun 2021 masih ada 3 tahun lagi buat persiapan 2024, masih sangat banyak dan panjang waktu untuk membuat acara tentang penguatan dan soliditas pemilu 2024. Seakan akan acara tersebut dipaksakan untuk memenuhui agenda dan strategi yang telah dibuat.
Sang Putri Mahkota yang notabene mejadi pusat perhatian bahkan sangat irit bicara pun begitu juga dengan Sang Ketua Umum. Yang bersuara lantang justru ketua DPDnya saja. Hal ini tentunya bisa dianggap keanehan. Kalaupun misalnya partai melihat tindak tanduk kadernya yang keluar dari batas batas garis partai, toh semestinya dipanggil secara internal, diperingatkan. Dan kenyataan bahwa beberapa hari sebelumnya Sang Gubernur ketemu Sang Ketua Umum. Dan tidak mengatakan apapun seakan menjadi indikasi bahwa ini adalah suatu hal yang dirancang.
Untuk sekelas gubernur dan mempunyai elektabilitasnya tinggi. Jelas yang menegur bukan level ketua DPD, tetapi harusnya level Ketua Umum. Diamnya Ketua umum memang bisa mengindikasikan banyak hal, termasuk di dalamnya sedang mengamati dengan seksama bagaimana strategi ini dijalankan.
Untuk dapat menjawab apakah ini benar-benar rivalitas atau hanya strategi PDI P semata maka, tidak bisa sekarang untuk menjawabnya, pastinya Sang King Maker sudah menetapkan “milestone” yang harus dicapai. Misalnya ; beberapa waktu tak lama lagi dilihat elektabilitasnya bagaimana? Kalau ternyata semakin meningkat berarti strategi itu berhasil.
Bisa juga pada akhirnya Sang Putri Mahkota sebelum 2024 menggantikan Ketua Umum yang sekarang. Lalu pada detik-detik akhir menjelang pendaftaran pilpres menyerahkan tiket kepada Sang Gubernur. Hal itu tentunya sangat berdampak positif baik kepada Partai ( PDIP dianggap partai yang mendengar suara rakyat, Sang Putri Mahkota yang sekarang naik menjadi Ketua Umum dianggap mewarisi kearifan dan kebijaksanaan Sang Ibu, bagi Sang Gubernur yang telah mengantongi tiket, tentunya lebih pede lagi karena elektabilitasnya memang sudah tinggi sebelumnya), bahwa semua happy ending adalah tujuannya.
Sekali lagi bicara politik seperti di dalam labirin dengan banyak pintu kemungkinan yang bisa dibuka. Entah bagaimana prosesnya kadang kita cuma paham setelah ditentukan siapa yang menang dalam pilpres dan siapa saja yang berada di sampingnya.
Tetapi satu hal yang perlu diingat oleh yang berpolitik di Indonesia khusunya para elite-elite partai. Betul bahwa para pemimpin yang memperoleh tiket lewat partai (baca : petugas partai) tidak boleh merasa lebih hebat dan lebih hebat dari partai yang menauinya, tetapi partai politik juga tidak bisa semau hati dan semena semana terhadap pemimpin yang dipilih orang rakyat. Karena jika partai politik tidak mendengar suara rakyat hanya mengurusi kepentingan golongan elitenya sendiri, lambat laun pasti akan ditinggalkan para pemilihnya. Partai tidak boleh merasa lebih hebat dari rakyat yang diwakilinya.