REKOM SAMBAR NYAWA?
(Sebuah Takwil Mendiang Yusuf Melenggang ke Akhirat)
Oleh: Ilham Akbar Rao
OPINI-METROSIDIK.CO.ID|Kematian Muhammad Yusuf (42 tahun), wartawan Kemajuan Rakyat dan Sinar Pagi Baru di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Kota Baru, Kalimantan Selatan, pada Minggu 10 Juni 2018 lalu berbuntut polemik. Banyak pihak menaksir kematian Yusuf tak lazim, meski hasil visum dokter RSUD Kotabaru menerangkan Yusuf meregang nyawa di terungku LP Kotabaru karena gagal jantung serta riwayat penyakit lain yang diderita sebelumnya.
Kisruh ini nyatanya tidak hanya berkisar ihwal kematian sang wartawan yang dirasa janggal. Pasca kematian Yusuf pun muncul tudingan konspirasi yang melibatkan unsur pers itu sendiri, utamanya katebelece Dewan Pers (DP) c.q. Sabam Leo Batubara kepada penyidik Polres Kotabaru, Kalimantan Selatan yang dituding bernas melibas Yusuf. Dewan Pers kenyataannya memang tidak tinggal diam, lewat siaran pers nya DP membela diri dengan mengaku tidak terlibat sedari awal atas kasus M. Yusuf, keterlibatannya hanya setelah dimintai penyidik Polres Kotabaru untuk memberikan keterangan ahli.
Saya coba mentakwil perjalanan rekomendasi atau keterangan Dewan Pers lewat ahli pers Sabam Leo Batubara yang keterangannya dimintai penyidik Polres Kotabaru pada 29 Maret, 2 dan 3 April 2018 ini. Muncul dibenak banyak wartawan, apakah Dewan Pers ikut andil dalam kematian M. Yusuf?
Yusuf diketahui dijebloskan ke penjara setelah menulis kisruh sengketa lahan antara PT Multi Sarana Agro Mandiri (MSAM) milik pengusaha kondang seantero Kalsel H. Andi Syamsudin Arsyad atau H. Isam versus warga Pulau Laut. Tulisan Yusuf disebut bermuatan provokasi, tidak berimbang, dan menghasut yang merugikan PT MSAM. Ia kemudian dijerat Pasal 45A UU 19/2016 tentang Perubahan Atas UU 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Adapun ancamannya pidana penjara paling lama 6 tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar.
Yusuf pertama kali dilaporkan pihak MSAM melalui Yoshua Prasetya Adi, pada 23 Maret 2018 di Mapolres Kotabaru, Kalimantan Selatan. Kala itu Yoshua membawa 4 lembar bukti print out (e paper) tulisan Yusuf di portal kemajuanrakyat.co.id. Polisi kerja ligat, hari itu juga, Jumat 23 Maret 2018, kasus Yusuf langsung ditingkatkan ke tahapan penyidikan.
Belum genap seminggu setelah laporan MSAM, Kamis 29 Maret 2018, 3 penyidik Polres Kotabaru terbang jauh mengunjungi kantor Dewan Pers di Kebon Sirih, Jakarta Pusat. Kedatangan 3 penyidik ini guna mendapatkan keterangan saksi ahli dibidang pers. Sehari sebelumnya, 28 Maret 2018, Kapolres Kotabaru AKBP Suhasto, juga sudah menyurati Dewan Pers ihwal pendapat ahli terkait tulisan Yusuf ini.
Syahdan, Sabam Leo Batubara pun kemudian direkomendasikan Dewan Pers untuk menelaah tulisan Yusuf. Keterangan mula Leo pada 29 Maret 2018, atas 2 tulisan Yusuf yang disodorkan penyidik ialah kedua berita tidak uji informasi, tidak berimbang dan mengandung opini menghakimi, selain itu narasumber berita juga tidak jelas dan tidak kredibel. Namun Leo menyarankan penyelesaian perkara ini dilakukan di Dewan Pers melalui mekanisme hak jawab dan permintaan maaf, karena merupakan perkara jurnalistik.
Menanggapi pernyataan Leo, penyidik malahan menyampaikan informasi bahwa pihaknya mengantongi keterangan saksi lain yang memberatkan Yusuf, penyidik bahkan berjanji akan membawa tulisan Yusuf yang lain yang dianggap negatif pada pertemuan berikutnya.
Penyidik menepati janji, tepat Senin hingga Selasa (2-3 April 2018) penyidik Polres Kotabaru menemui kembali Leo Batubara di gedung Dewan Pers, kali ini dengan membawa 21 tulisan Yusuf.
Tak perlu waktu lama Leo menyingkap tulisan Yusuf, dan ujungnya. Ini yang menurut saya memancing kemunculan silang pendapat keterlibatan Dewan Pers dalam arena polemik kematian Yusuf, ialah pada poin 4, seperti yang dituangkan pada pernyataan Dewan Pers. “Bahwa pihak yang dirugikan atas pemberitaan tersebut dapat menempuh jalur hukum dengan menggunakan UU lain diluar UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers”.
Hanya satu hari setelah penyidik Polres Kotabaru membawa “oleh-oleh” pernyataan Sabam Leo Batubara ini, Rabu 4 April 2018, Yusuf kemudian ditetapkan sebagai tersangka. Berturut-turut setelah penetapan tersangka, keesokannya Kamis 5 April 2018 terbit Surat Perintah Penangkapan terhadap M. Yusuf. Menyusul Jumat 6 April 2018 keluar Surat Perintah Penahanan yang ditandatangani penyidik AKP Suria Miftah Irawan atas nama Kapolres Kotabaru.
Hingga Minggu 10 Juni 2018 itu pun tiba, atau setelah lebih 2 bulan Yusuf ditahan. Ia yang tengah menanti lantam palu hakim PN Kotabaru, Kalsel menghembuskan nafas terakhir dalam perjalanan ke RSUD Kotabaru. Wartawan pemberani Muhammad Yusuf pun berpulang kepada pemilik semesta – Innalillahi Wa Inna Ilaihi Rajiun.
Kematian Yusuf rupanya berjejak, khususnya dibenak banyak wartawan dan pegiat media publik. Muncul pertanyaan, bagaimana seandainya bila rekomendasi akhir Dewan Pers c.q. Sabam Leo Batubara kepada penyidik Polres Kotabaru terkait tulisan Yusuf berujung sebaliknya. Dengan kata lain penyelesaiannya tetap menggunakan UU Nomor 40 tahun 1999 tentang pers nasional dan bukan UU diluar itu. Mungkinkah Polres Kotabaru urung merintang Yusuf? Jawabannya sangat mungkin, YA. Karena pendapat ahli Dewan Pers c.q Sabam Leo Batubara ketika meretas tulisan Yusuf masuk kategori alat bukti dalam penyidikan penegak hukum.
Dewan Pers boleh saja keukeuh dengan pendirian apa yang dilakukannya dalam perkara Yusuf merupakan implementasi nota kesepahaman (MoU) antara Kapolri dengan Dewan Pers dalam menyelesaikan sengketa pemberitaan dan penegakan hukum terkait profesi wartawan, terlebih dalam kasus Yusuf tidak ada pihak yang sedari mula mengkonfirmasi keberatannya ke Dewan Pers, atau keterlibatan Dewan Pers hanya setelah pihak Polres Kotabaru meminta keterangan ahli.
Menurut saya, apapun alibi Dewan Pers dalam perkara “tulisan” Yusuf justru menunjukan tidak bertajinya lembaga representasi pekerja pers tanah air ini, eksistensi pers sebagai salah satu pilar demokrasi memasuki fase kritis ditangan oknum Dewan Pers. Apalagi bila kita menginsyafi amanat UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 sebagai pakem dalam kemerdekaan pers di tanah air, jelas apa yang dilakukan Dewan Pers bisa disebut aib dalam mengejawantahkan kemerdekaan pers itu sendiri.
Pendapat Dewan Pers c.q Sabam Leo Batubara yang menyebut tulisan Yusuf tidak uji informasi, tidak berimbang, mengandung opini menghakimi, tidak memuat fakta ataupun memberi kesan dan pernyataan negatif, menurut saya justru sangat subjektif sekaligus mengerikan. Bagaimana mungkin Sabam Leo Batubara dapat menilai puluhan tulisan Yusuf hanya dalam hitungan hari? Apakah Sabam Leo Batubara sempat uji informasi dengan menemui objek tulisan Yusuf di Kalimantan Selatan atau setidaknya melakukan wawancara langsung dengan masyarakat Pulau Laut atau PT MSAM? Atau hanya melakukan wawancara imajiner belaka? Saya curiga justru rekomendasi Sabam Leo Batubara lah yang tidak uji informasi atau bahkan tidak berdasarkan fakta.
Kasus wartawan Yusuf ini seperti membuka tabir bagaimana sebetulnya Dewan Pers menampakan eksistensi dan kerja jebloknya dalam menancapkan kemerdekaan pers selama ini. Karena rupanya tak hanya Yusuf, wartawan yang diperkarakan karena tulisan. Belum lama ini di Padang, Sumatera Barat ada nama Ismail Novendra, Pemimpin Redaksi Media Jejak News yang juga diperkarakan karena tulisan. Kabarnya Dewan Pers sudah memberikan rekomendasi bahwa skandal Jejak News merupakan perkara jurnalistik dan penyelesaiannya menggunakan mekanisme hak jawab dan permintaan maaf (UU Pers Nomor 40 Tahun 1999), namun polisi tidak menggubris dan tetap meneruskan perkara Ismail Novendra lewat KUHP. Nahasnya Dewan Pers tidak berbuat apa-apa guna mengakomodir Jejak News.
Ada lagi nama Bony Lerek di NTT, wartawan media online Fajar Timor yang juga jadi tersangka karena tulisan. Kemudian di Sumatera Utara ada nama Jon Roi Tua Purba dan Lindung Silaban, wartawan Sorot Daerah yang juga diperkarakan karena tulisan. Ada lagi Toroziduhu Laia di Riau, Pemred Harian Berantas yang juga tengah menghadapi persidangan.
Ini hanya beberapa nama, di berbagai daerah kasus serupa kenyataannya sangat banyak dialami rekan-rekan wartawan. Dan tindakan Dewan Pers seperti yang sudah-sudah, hanya diam atau setidaknya hanya berbisik dan paling jauh membela diri ketika perkara ini akhirnya mendapat perhatian luas publik.
Apa yang dilakukan Wilson Lalengke, Ketua Umum PPWI (Persatuan Pewarta Warga Indonesia) dan Hence Mandagi Ketua Umum SPRI (Serikat Pers Republik Indonesia) dengan menggugat kebijakan Dewan Pers di PN Jakarta Pusat pada 9 Mei lalu, yang hingga kini persidangannya masih berjalan, saya rasa sebagai strategi yang tepat dalam menyikapi berbagai panggung Dewan Pers yang dinilai banyak merugikan wartawan.
Langkah Wilson dan Hence ini hebatnya mendapat simpati berbagai tokoh dan organisasi pers tanah air, yang memuncak akibat kematian Yusuf. Dalam aksi damai dengan tema “Tolak Kriminalisasi Pers Indonesia” yang digelar Rabu 4 Juli 2018 kemarin, sedikitnya tercatat nama Ketum JMN Helmy Romdhoni, Ketum IPJI Taufiq Rahman, Ketum FPII Kasihhati, Ketum KWRI Ozzy Sulaiman, Ketum IMO Marlon Brando, Ketum KOWAPPI Hans Kawengian, Ketua PWRI Rinaldo, Ketua umum persatuan wartawan repubulik Indonesia (PWRI) Suryanto, Sekjen AWDI Budi, dan Sekjen SPRI Edi Anwar.
Semoga tidak pernah adalagi Rekom “Sambar Nyawa” Dewan Pers seperti yang dialami wartawan pejuang Muhammad Yusuf – Selamat Jalan Sahabat.