Menurut Presiden, belakangan ini banyak warga masyarakat saling melaporkan terjadinya pelanggaran hukum sehingga menyebabkan adanya proses hukum yang kurang memenuhi rasa keadilan.
Meskipun demikian Presiden Jokowi menyadari pelapor tersebut ada rujukan hukumnya, yakni UU ITE. Presiden Jokowi juga memahami semangat Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Jo UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) ini untuk menjaga agar ruang digital Indonesia bisa bersih dan sehat, serta beretika serta bisa dimanfaatkan oleh masyarakat secara produktif.
“Tapi implementasinya dan pelaksanaannya jangan justru menimbulkan rasa ketidakadilan,” tandas Presiden Jokowi
Karena itu Presiden Jokowi memerintahkan Kapolri agar meningkatkan pengawasan sehingga agar implementasi dari pedoman tersebut tetap berjalan dengan konsisten akuntabel dan berkeadilan.
“Kalau UU ITE tidak bisa memberikan rasa keadilan, ya saya akan meminta DPR untuk bersama-sama merevisi UU ITE ini karena di sinilah hulunya,” tandas Presiden Jokowi
Presiden Jokowi juga menegaskan revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Jo UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) ini terutama untuk menghapus pasal -pasal karet yang penafsiranya berbeda-beda dan mudah dintepretasikan secara sepihak oleh aparat penegak hukum.
Masyarakat Indonesia pengguna media sosial atau Medsos harus lebih bijak dalam menggunakan media sosial untuk mengekspresikan kebebasan berpendapat agar tidak terjerat kasus pidana.
Selain itu, ekspresi kebebasan berpendapat ini harus memegang etika agar tidak terjerat pada kasus hukum pidana di Undang Undang No 19 Tahun 2016 Jo UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Sebab UU ITE ini akan mudah memidanakan kasus pencemaran nama baik, penghinaan dan ujaran kebencian.
Dalam catatan Treviliana Eka Putri, Manager Riset Center For Digital Society (CFDS), Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (UGM) melansir data dari Safenet.or.id kasus pidana menggunakan Undang-Undang No 19 Tahun 2016 Jo UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) hingga 30 Oktober 2020, mencapai 324 kasus.
“Spirit UU ITE seharusnya untuk menciptakan rasa aman bagi semua orang di media daring, tapi kini UU ITE banyak memakan korban. Pelapor punya power dan terlapor tidak punya kekuatan seperti orang awam juga aktivis,” kata Treviliana dalam diskusi daring bertema Batasan Kebebasan Ekspresi dan Menyatakan Pendapat Ditinjau dari UU ITE yang digelar Magister Hukum Litigasi Fakultas Hukum UGM, Sabtu (31/10) malam.
Berdasarkan perincian data dari Safe.net, dari 324 kasus pidana di UU ITE, sebanyak 209 orang dijerat dengan pasal 27 ayat (3) tentang pencemaran nama baik.
Sebagai catatan pasal Pasal 27 ayat (3) UU No. 19 Tahun 2016 Jo UU No. 11 Tahun 2008 ini selengkapnya berbunyi :
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”
Selain itu, sebanyak 76 kasus dijerat dengan Pasal 28 ayat (3) UU ITE tentang ujaran kebencian.
Pasal 28 ayat (2) UU No. 19 Tahun 2016 Jo UU No. 11 Tahun 2008 berbunyi: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan asa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Dari jumlah kasus laporan hukum ini, Menurut catatan Treviliana, “Sebanyak 172 kasus yang dilaporkan itu berasal dari unggahan di media Facebook termasuk Facebook pages,” katanya.
Karena itulah, Treviliana memandang perlunya literasi digital bagi masyarakat, khususnya dalam memproduksi konten digital. “Konsumsi digital di Indonesia masih oke tapi untuk memproduksi ranah digital masih kurang pengetahuan,” katanya.
Ia mengusulkan perlu komitmen semua pihak, termasuk di bidang pendidikan dengan memasukkan kurikulum literasi digital dan membuat program nasional literasi digital.
Menanggapi banyaknya kasus masyarakat yang terjerat dengan UU ITE, Supandriyo, Hakim Yustisial di Lingkungan Badan Pengawasan Mahkamah Agung berpendapat pada beberapa kasus putusan hakim memang berbeda-beda.
Ia menyebut di tataran praktek, situasi hukum tidak ada kejelasan. Untuk itu hakim perlu melakukan penemuan hukum dengan cara konstruksi dan interpretasi. Penemuan hukum sesuai dengan kapasitas masing-masing sehingga menimbulkan konteks pemaknaan terhadap pelanggaran kesusilaan bisa beda, paradigma berpikir hakim juga berbeda.
Sebagai gambaran ancaman hukuman atas pelanggaran Pasal 27 ayat (3) UU No. 19 Tahun 2016 adalah penjara paling lama 4 tahun dan denda paling banyak Rp 750 juta.
Sementara, ancaman hukuman atas pelanggaran Pasal 28 ayat (2) UU No. 19 Tahun 2016 adalah penjara paling lama 6 tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar. Karenanya tersangka yang dikenakan tuduhan atas pasal ini biasanya langsung di tahan oleh pihak kepolisian.
Sementara guru besar Fakultas Hukum UGM Edward Omar Sharif Hiariej atau dikenal dengan sebutan Prof Eddy menjelaskan, Pada UU ITE pembuat Undang-Undang memang memasukkan pasal pasal yang ada di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu pasal 310 sampai dengan pasal 321 yang berisi pencemaran nama baik ada enam bentuk penghinaan ke dalam satu keranjang yaitu pasal 27 dan pasal 28, di UU No ITE.
“Karena di delik KUHP sama hanya medianya berbeda di dunia nyata dan dunia maya,”kata Prof Eddy yang kini menjabat sebagai Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia ini.
Selain itu, dalam konteks Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Jo UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) untuk membuktikan unsur menyebarluaskan sangat mudah dibandingkan dengan dunia nyata.
Penafsiran menyebarluaskan atau diketahui banyak orang dengan cara manual dengan medsos sehingga sangat mudah untuk membuktikan.
Sumber: Kontan.co.id