JAKARTA, METROSIDIK.CO.ID — Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah menegaskan rencana pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) ke Kalimantan Timur, harus dipagari dengan pokok-pokok haluan negara (PPHN). Tanpa PPHN, maka tidak ada yang dapat menjamin presiden terpilih hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (pilpres) 2024, melanjutkan rencana pemindahan IKN.
“Tanpa PPHN, siapa yang bisa menjamin presiden terpilih 2024 benar-benar akan melaksanakan dan melanjutkan rencana pemindahan IKN,” kata Basarah di Jakarta, Mingu (29/8/2021).
Basarah menyatakan UUD 1945 dan Undang-Undang (UU) Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN), tidak memberi sanksi apa pun kepada presiden berikutnya apabila tidak melanjutkan sebuah program pembangunan pemerintahan sebelumnya.
Basarah berharap gagasan besar pemindahan IKN mendapat dukungan dari partai-partai politik dan semua elemen masyarakat demi kebaikan bangsa. “Gagasan besar Presiden Jokowi ini harus dijadikan contoh praktis untuk memastikan kesinambungan rencana pembangunan IKN,” ujar politikus PDI Perjuangan ini.
Menurut Basarah, dukungan partai-partai dan seluruh masyarakat atas rencana pemindahan IKN idealnya diwujudkan dalam aksi serupa terhadap rencana MPR melakukan amendemen terbatas UUD 1945 untuk mengakomodasi PPHN.
Amendemen terbatas hanya ingin memasukkan satu ayat pada Pasal 3 yang intinya memberi kewenangan kepada MPR untuk mengubah dan menetapkan PPHN atau garis-garis besar haluan negara (GBHN). Kemudian, menambah ayat pada Pasal 23 yang mengatur kewenangan DPR untuk menolak RUU APBN yang diajukan presiden apabila tidak bertentangan dengan PPHN.
“Saya sangat berharap niat MPR melakukan amendemen terbatas ini tidak dicurigai punya motif apa pun,” tegas Ketua Fraksi PDIP MPR tersebut.
Apalagi, menurut Basarah, jika ada yang mencurigai ingin mengubah konstitusi agar presiden bisa menjabat tiga periode. Dikatakan, presiden boleh berganti, tetapi rencana pembangunan nasional jangka panjang harus terus berkesinambungan dan dipagari oleh konstitusi.
Basarah menyatakan jangkar pembangunan Indonesia modern sudah seharusnya dikembalikan kepada cita-cita luhur pendiri bangsa yang menghendaki pembangunan nasional didasarkan pada pola pembangunan nasional semesta dan berencana (PNSB).
“Bung Karno di era orde dasar dulu pernah melaksanakan PNSB dan GBHN. Kemudian pada era Orde Baru, Pak Harto melanjutkannya dengan terminologi GBHN,” ujar Basarah.
Akan tetapi, menurut Basarah, setelah reformasi, MPR melucuti sendiri kewenangannya untuk membuat dan menetapkan konsep pembangunan jangka panjang nasional. Karena itu, Basarah berpendapat sudah saatnya kembali pada PPHN.
Jika Indonesia memiliki PPHN, seluruh rakyat melalui wakil-wakilnya di Senayan akan leluasa memastikan presiden terpilih melaksanakan peta jalan dan cetak biru pembangunan nasional melalui PPHN.
Melalui PPHN itulah presiden terpilih menjabarkan program pembangunan lima tahun dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang telah disusun dan dijabarkan langsung sejak pembentukan visi misi serta program calon presiden yang ikut kontestasi pilpres.
“Dengan demikian pembangunan nasional tidak akan jalan di tempat akibat ganti presiden ganti program dan kebijakan,” kata Basarah.
Sebagai contoh, Presiden keenam Susilo Bambang Yudhoyono pernah membuat Badan Pengembangan Kawasan Strategis dan Infrastruktur Selat Sunda. Namun, proyek tersebut dibatalkan dan dibubarkan oleh Presiden Jokowi. Hal tersebut bisa dilakukan karena UU SPPN tidak mengatur hal itu, termasuk soal sanksi.
“Kita tidak ingin presiden terpilih di 2024 melakukan tindakan yang sama jika tidak ada PPHN,” demikian Basarah.