JAKARTA, METROSIDIK.CO.ID — Hakim anggota Pengadilan Tipikor Jakarta, Mulyono Dwi Purwanto menyatakan dissenting opinion atau berbeda pendapat dengan hakim lainnya terkait penghitungan kerugian negara sebesar Rp 22,788 triliun dalam perkara dugaan korupsi PT Asabri. Dissenting opinion itu disampaikan hakim Mulyono dalam sidang putusan dua mantan Direktur Utama Asabri, Mayjen (Purn) Adam Rachmat Damiri dan Letjen (Purn) Sonny Widjaya serta Direktur Keuangan Asabri 2008-2014 Bachtiar Effendi dan Direktur Investasi dan Keuangan Asabri 2014-2019 Hari Setianto di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (4/1/2022).
Hakim Mulyono menilai kerugian keuangan negara dalam perkara dugaan korupsi Asabri sebesar Rp 22,788 triliun yang dihitung oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tidak memiliki dasar yang jelas. Untuk itu, hakim Mulyono mengatakan, kerugian keuangan negara tersebut tidak terbukti.
“Perhitungan kerugian keuangan negara oleh BPK tidak punya dasar yang jelas dan tidak memenuhi kerugian negara yang nyata dan pasti sehingga (kerugian) Rp 22 triliun tidak berdasar dan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan,” kata hakim Mulyono saat membacakan dissenting opinion.
Menurut hakim Mulyono, BPK dan ahli tidak konsisten dan tidak tepat ketika menghitung kerugian negara dalam perkara Asabri ini. Berdasarkan perhitungan BPK, kerugian negara Rp 22,788 triliun berasal jumlah saldo yang dibeli atau diinvestasikan pada efek atau saham setelah dikurangi penjualan atau redemption saldo 31 Desember 2019, sebelum laporan audit selesai 31 Maret 2021.
Hakim Mulyono meyakini metode yang dipakai adalah total loss yaitu diakui penerimaan dana sebelum audit selesai. Menurutnya, dana Rp 22,778 triliun adalah saldo dari pembelian rekening efek yang melanggar peraturan yang berlaku dan yang belum dipulihkan kembali per 31 Desember 2019, namun masih memperhitungkan penerimaan dana.
“Reksadana, surat, dan saham-saham masih ada dan menjadi milik PT Asabri dan memiliki nilai atau harga tapi tidak diperhitungkan oleh auditor atau ahli yang dihadirkan di persidangan sehingga tidak konsisten dengan penerimaan atas likuidasi saham setelah 31 Desember 2019, bahkan sampai audit pemeriksaan pada 31 Maret 2021 meski tidak diperhitungkan penjualan sesudah masa akhir pemeriksaan tersebut,” jelas Hakim Mulyono.
Mulyono menilai, dengan metode penghitungan ahli itu, saham atau efek tersebut masih memiliki nilai bila dijual atau dilikuidasi reksadananya. Meski pembeliannya menyimpang, Mulyono menyatakan rekening efek tersebut masih menghasilkan dana kas bagi PT Asabri. Dana kas tersebut memang tidak pasti karena harganya fluktuasi. Untuk itu, hakim Mulyono menilai lebih fair untuk menghitung dana kas dalam kerugian negara tersebut.
“Auditor tidak memperhitungkan itu tapi hanya efek surat berharga yang tidak terjual kembali sebelum 31 Desember 2019, tapi memperhitungkan penerimaan setelah 31 Desember 2018, hal itu menyebabkan perhitungan kerugian negara menjadi tidak tepat, tidak nyata atau tidak pasti nilainya karena tidak dihitung secara riil pembelian yang menyimpang namun mengesahkan penerimaan dananya dari penjualan atau redempt atau likuidasi efek tersebut sampai waktu tertentu,” terang Mulyono.
Lebih jauh, Mulyono mengatakan metode audit yang digunakan untuk menghitung kerugian negara adalah total loss dengan modifikasi yaitu menghitung selisih uang yang dikeluarkan PT Asabri dengan pembelian instrumen investasi berdasarkan aturan hukum yang berlaku dikurangi dengan dana yang kembali dari investasi yang kembali per 31 Desember 2019. Sejatinya, menurut standar akuntansi di tanggal tertentu, posisi laba atau rugi bersifat unrealized karena belum riil terjual berdasarkan harga perolehan.
“Sehingga masih potensi,” kata hakim Mulyono.
Sementara itu, empat hakim lainnya, yakni ketua majelis hakim, Ignatius Eko Purwanto, serta hakim anggota Saifuddin Zuhri, Rosmina dan Ali Muhtarom sepakat dengan hasil penghitungan kerugian negara yang dilakukan BPK.