Tiga faktor pemicu konflik
Sementara itu pengamat Timur Tengah Trias Kuncahyono mengungkapkan setidaknya ada tiga faktor yang meletupkan kembali konflik Israel dan Palestina.
Salah satu kasus pemicunya adalah ancaman penggusuran orang-orang Palestina di wilayah Shiekh Jarrah di Yerusalem Timur.
“Nah mereka merasa sudah tinggal di tempat itu selama puluhan tahun, kemudian akan digusur karena akan dipakai untuk permukiman baru. Meskipun sudah melakukan upaya hukum tetapi tetap kalah,” ungkap Trias, mantan wartawan yang juga penulis sejumlah buku mengenai Timur Tengah – salah satunya berjudul “Jerusalem: kesucian, konflik, dan pengadilan akhir.”
Faktor kedua adalah penutupan akses ke Gerbang Damaskus di Kota Lama Yerusalem yang mengarah ke Masjid Suci Al Aqsa. Pada saat itu berlangsung kegiatan keagamaan bertepatan dengan bulan Ramadan.
“Faktor ketiga yang berbarengan juga sebetulnya dengan ulang tahun kelompok garis keras terkait perebutan Yerusalem Timur setelah 1967. Ketiga faktor itu menjadi pemicu atas apa yang terjadi belakangan ini,” ujar Trias.
Terkait perang narasi media sosial di Indonesia terkait konflik Israel-Palestina, bagi Trias, merupakan hal yang wajar, sangat biasa sekali dan pasti akan terjadi.
“Misalnya ada yang pro Palestina, ya boleh begitu pula yang pro Israel, asal semua alasannya rasional, tidak berdasarkan pada emosi atau kemudian yang tidak ada dasarnya.”
Maka dia mengingatkan bahwa semua narasi pro dan kontra konflik di Timur Tengah itu harus disampaikan secara dingin dan melihatnya secara rasional.
“Harus seperti itu, kalau tidak akan menimbulkan persoalan yang besar, karena orang tidak tahu persis apa yang sesungguhnya terjadi, kemudian melebarkan pendapat, kemudian bisa memprovokasi orang maka bisa menjadi persoalan besar ini. Kemudian kalau itu terjadi, bisa ramai sendiri dan kita rugi sendiri.”