Pakar Hukum Sebut Kejaksaan Lebih Banyak Tangani Kasus Korupsi

Pakar Hukum Sebut Kejaksaan Lebih Banyak Tangani Kasus Korupsi
ILUSTRASI - Korupsi.

JAKARTA, METROSIDIK.CO.IDPakar hukum pidana Universitas Brawijaya Fachrizal Afandi mengatakan, secara kuantitas Kejaksaan Agung (Kejagung) lebih banyak menangani kasus korupsi dibanding Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri. Jika lebih serius lagi, Fachrizal meyakini akan lebih banyak lagi kasus korupsi yang terungkap.

“Saya kutip laporan ICW. Kalau melihat dari laporan ICW itu kan Kejaksaan secara kuantitas itu paling banyak menangani kasus korupsi, ada 151 kasus penanganan korupsi semester I tahun 2021 ini. Polri lebih sedikit 45 kasus, jadi sepertiganya Kejaksaan. KPK tidak banyak juga cuma 13 kasus, tapi kan harus dipahami KPK hanya ada di Jakarta, dan dibatasi oleh undang-undang untuk menangani perkara yang besar saja,” ujar Fachrizal, Rabu (8/12/2021).

Dikatakan Fachrizal, memang secara kuantitas Kejagung dominan menangani kasus korupsi. Namun, Fachrizal menilai tersebut wajar lantaran kejaksaan memiliki ratusan kantor di seluruh Indonesia. Bahkan, Fachrizal menilai seharusnya kalau kejaksaan dapat menangani lebih banyak kasus korupsi jika lebih serius.

Baca juga  Survei LSI catat 34,6 Persen PNS Nilai Tingkat Korupsi Meningkat

Dalam peringatan Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) tahun ini, Fachrizal menyoroti koordinasi antaraparat penegak hukum. Dikatakan hal tersebut menjadi tantangan dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. KPK yang memiliki kewenangan supervisi bahkan bisa mengambil alih kasus yang ditangani lembaga penegak hukum lain, justru cenderung pasif.

“Sayangnya, KPK sangat pasif dan cenderung enggan melakukan supervisi atau mengambil alih perkara korupsi yang ditangani Kejaksaan maupun Polri,” ungkapnya.

Fachrizal mencontohkan, terkait penanganan kasus jaksa Pinangki Sirna Malasari. KPK, katanya bisa mengambil alih kasus karena perkara ini melibatkan aparat penegak hukum, yakni kejaksaan.

“Harusnya itu ditangani lembaga lain, Polri atau KPK. KPK yang memiliki kewenangan untuk mengambil alih karena ada kekhawatiran conflict of interest. Dan itu tidak dilakukan, setidaknya tidak diambil alih oleh KPK, dan supervisi juga tidak pernah dibuka ke publik. Akhirnya kalau kita baca dari putusan Pinangki misalnya, meskipun ada nama-nama pejabat tinggi kejaksaan itu juga tidak ditangani oleh jaksa. Ya bagaimana wong pimpinannya yang terlibat, kan tidak mungkin penyidik Jaksa berani memanggil pimpinannya, itu masalah conflict of interest,” katanya.

Baca juga  Pemda DIY Prediksi Kasus Covid-19 Melonjak Usai Libur Nataru

Selain soal koordinasi, Fachrizal menyoroti belum maksimalnya pencegahan korupsi. Dikatakan, pencegahan mempunyai nilai penting dalam upaya memberantas korupsi.

“Saya kira pencegahan itu pasti penting ya,” ucapnya.

Menurutnya, pada masa pandemi uang beredar di mana-mana terkait penanganan dan bantuan sosial. Namun, berdasarkan laporan ICW yang ditangani KPK, Polri dan Kejaksaan lebih kepada kasus-kasus lain seperti kasus korupsi dana desa serta menangkapi aparatur sipil negara (ASN).

“Penanganan Covid-19 itu malah sedikit. Itu jadi menurut saya agak aneh. Itu pun kalau kita lihat Menteri Juliari Batubara itu di OTT oleh KPK pada zamannya Novel ya. Ya tidak salah juga dana desa dan lainnya, tapi soal Covid-19 yang dicatat ICW itu semester I hanya lima kasus. Tidak banyak yang kaitannya dengan Covid-19, dana bansos dan lain sebagainya,” jelasnya.

Fachrizal juga menyinggung soal UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang masih masih minim digunakan aparat penegak hukum. Kembali mengutip data ICW, dia mengatakan hanya ada dua kasus yang diterapkan TPPU pada laporan semester pertama tahun 2021.

Baca juga  KPK Akan Dalami Vendor Bansos yang Tidak Punya Kualifikasi Sebagai Penyedia

“Tidak banyak. Jadi kalau pencucian uangnya tidak banyak biasanya juga berkaitan dengan pengembalian kerugian keuangan negara. Tapi pengembalian kerugian keuangan negara ini juga tidak bisa maksimal karena RUU Perampasan Aset kan belum disahkan. Jadi sangat berpengaruh. Ya, wajib didorong (UU Perampasan Aset),” tegasnya.

Untuk itu, Fachrizal mendorong percepatan pengesahan RUU Perampasan Aset. Dikatakan, penyelesaian RUU ini membutuhkan keinginan poltik pemerintah dan DPR selaku pembuat UU agar pemberantasan korupsi dapat berjalan optimal.

“Dan, memang kita kan belum punya Undang-Undang Perampasan Aset ya. Itu juga jadi masalah, jadi tidak bisa optimal kejaksaan, Polri maupun KPK itu menyita harta koruptor karena undang-undangnya belum ada, dan ini butuh political will dari DPR ya. Dan, sepertinya selalu luput untuk dibahas,” katanya.

Baca juga  Presiden Jokowi Teken UU IKN, Menandai Pembangunan Ibu Kota Negara Dimulai

Fachrizal menegaskan, yang paling terpenting dalam penindakan korupsi adalah mengusut tuntas hingga mengungkap siapa saja aktor berkualitasnya. Meski secara kuantitas banyak mengungkap kasus, kejaksaan belum maksimal mengusut tuntas perkara korupsi hingga menjerat aktor intelektualnya.

“Korupsi ini pasti berjamaah. Tidak mungkin korupsi itu dilakukan satu orang karena kan sistem. Sistem butuh kolaborasi, butuh koordinasi, butuh pemufakatan dengan orang lain dengan pejabat yang lebih tinggi, dengan tokoh politik yang lebih berkuasa dan sebagainya. Ini makanya ekstra ordinary crime itu kan ada alasannya karena yang terlibat itu kan aktor-aktor politik yang punya kekuatan. Penyidikan yang berkualitas ini kalau dia bisa menyibak aktor-aktor di balik korupsi ini,” katanya.

 

jasa website rumah theme

Pos terkait