METROSIDIK.CO.ID –Sebulan belakangan ini Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) sedang menjadi sorotan publik. Media arus utama, lebih-lebih media sosial, hampir setiap hari menjadikan Polri sebagai berita utama.
Ini semua tidak lepas dari kasus yang melibatkan Ferdy Sambo, mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri.
Tragedi Sambo memang cukup memorak-porandakan citra dan kepercayaan publik kepada Polri. Apalagi ditambah dengan adanya elemen masyarakat yang bukannya membantu memulihkan citra Polri, tapi malah mendompleng dengan menghujat Polri dan menangguk di “air keruh” serta memanfaatkan situasi ini untuk mencari panggung demi kepentingan citra politik praktis mereka.
Meski begitu, Polri tidak boleh panik karena Tragedi Sambo ini. Sebaliknya, malah tragedi ini harus dijadikan momentum pintu masuk bagi Polri untuk membenahi aspek reformasi kultural Polri, terutama pembangunan moral, disiplin dan perilaku Polri untuk kembali meningkatkan citranya di mata masyarakat.
Sesungguhnya kalau memang menghendaki terwujudnya polisi dan masyarakat yang baik dan disiplin, itu relatif mudah dilakukan. Caranya dengan menghadirkan sebanyak mungkin polisi di lapangan. Langkah itu setidaknya dapat ditempuh lewat 13 kiat.
Pertama, kita perlu mengubah kebiasaan polisi lebih banyak di kantor menjadi polisi yang peduli dan mengabdi di lapangan. Dengan demikian polisi berbaur dalam kehidupan dan penghidupan di lapangan, sehingga polisi paham benar problematik yang terjadi di masyarakat, berikut cara mengatasinya.
Kedua, perlu diciptakan kesadaran bahwa tangan dan peluit polisi adalah hukum bagi masyarakat. Ini akan membuat masyarakat menurut kepada polisi untuk berbalik arah bagi yang melawan arus. Dalam hal ini Polri harus mengerahkan sebanyak mungkin polisi dari satuan lalu lintas dan Sabhara. Kehadiran polisi sebanyak mungkin di lapangan membuat masyarakat berpikir panjang untuk melawan perintah polisi.
Ketiga, sejak awal sudah perlu ada budaya polisi biasakan langsung menegur masyarakat yang melanggar aturan, tapi tindakan itu harus dilakukan dengan simpatik, tanpa langsung menilang. Jika sudah ditempuh proses persuasif barulah dilakukan tindakan yuridis formal, seperti menilang dan sebagainya.
Keempat, agar dapat berbaur dengan masyarakat, polisi langsung terjun bertugas sehari-hari di tengah dan bersama masyarakat. Perlu kembali memakai pakaian dinas harian (PDH), tidak harus pakaian dinas lapangan (PDL). Hal ini tidak akan menghilangkan kewibawaan polisi, malah justru akan membuat polisi akrab dengan masyarakat, dan bersamaan itu disegani dan dihormati oleh masyarakat.
Kelima, tempatkan perwira mengawasi setiap tempat yang rawan kemacetan, pelanggaran dan kejahatan jalanan dengan mengawasi anggota yang bertugas. Polisi harus menjadi sumber problem solving dan bukan justru pembuat masalah.
Polisi harus otomatis hadir dalam permasalahan masyarakat. Dalam perkembangan zaman yang semakin kompleks, problem yang hadir juga pasti semakin banyak dan rumit. Apa pun problem yang muncul di masyarakat, polisi harus hadir dan mampu melakukan pemecahan.
Keenam, buat anggota bekerja dengan sistem bergantian delapan jam. Bagaimanapun, polisi tetap manusia. Stamina dan kejiwaan mereka, walaupun harus kuat dibandingkan rata-rata masyarakat, namun tetap memiliki keterbatasan sebagai manusia. Pembatasan jam kerja di suatu tempat akan membuat polisi senantiasa bugar, tetap cermat, sigap dan terutama dapat terus peka terhadap lingkungannya. Hanya dalam keadaan luar biasa saja pembatasan waktu tugas itu dapat dikecualikan.
Ketujuh, perlu diatur kewajiban mendatangi dan mengolah tempat kejadian perkara (TKP) dengan ukuran waktu tertentu. Harus ada standar waktu kehadiran polisi di TKP. Lebih cepat polisi hadir di TKP lebih baik.