Korupsi dan Sumber Daya Alam, menjadi topik perbincangan di kalangan publik pasca ditetapkannya Gubernur Provinsi Kepulauan Riau, Nurdin Basirun beserta anak buahnya sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Nurdin diduga menerima suap hingga miliaran rupiah, yang akhirnya ia terpaksa harus mengenakan rompi berwarna orange dari lembaga antirasuah itu.
Kasus yang menjerat Gubernur Provinsi Kepulauan Riau itu terkait dugaan suap untuk perizinan reklamasi serta pemanfaatan pulau-pulau kecil yang sedang diajukan oleh salah satu pengembang dari pihak swasta. KPK OTT Nurdin, tepat di hari Bhayangkara ke-73 pada Rabu, 10 Juli lalu di Tanjungpinang.
Di Provinsi Kepulauan Riau itu, terdapat sekitar 2.408 pulau besar, dan kecil. Tiga puluh (30) persen diantaranya, belum bernama, dan berpenduduk. Luas wilayahnya sebesar 8.201.72 km. Dan 95 persen diantaranya merupakan lautan, dan hanya sekitar 5 persen saja daratan. Tentunya, ini merupakan sumber daya alam yang perlu pengawasan ekstra oleh pemerintah setempat.
Dalam konferensi Pers terkait OTT Gubernur-Kepri oleh KPK, wakil ketua KPK Basariah Panjaitan mengatakan bahwa, yang menjadi fokus dalam pemberantasan korupsi oleh KPK diantaranya, Perizinan, Tata Niaga, Keuangan dan Penegakkan Hukum Birokrasi. Dalam kesempatan tersebut, KPK juga menyesalkan, jika tidak ada kepedulian pemerintah daerah terhadap sumber daya alam yang tidak seimbang dengan investasi.
Pernyataan dari Basariah Panjaitan yang menyebut tidak adanya kepedulian pemerintah terhadap sumber daya alam itu bagaikan menyingkap tabir korupsi kepada publik. Tanpa disadari, rupanya selama ini, investasi pengelolaan sumber daya alam menjadi modus dan sasaran empuk bagi penguasa untuk mengumpulkan pundi-pundi kekayaaan demi kepentingan pribadi beserta kelompoknya. Mirisnya lagi, penguasa rela menjual ketersediaan sumber daya alam, yang sejatinya merupakan milik negara yang dikelola semata-mata hanya untuk kesajahteraan rakyatnya.
Kejadian OTT suap perizinan itu sekaligus sebagai pesan kepada penguasa, dan membuka mata publik untuk perlu ikut serta dalam pengawasan sumber daya alam, yang pada kenyataannya menjadi objek korupsi di tingkat papan atas. Modus pemanfaatan sumber daya alam tersebut, setidaknya dapat ditinjau dari keseimbangan investasi dan nilai kontribusinya bagi negara, khususnya masyarakat setempat.
Yang perlu diperhatikan, Provinsi Kepulauan Riau merupakan salah satu daerah yang banyak diincar dari berbagai investor, baik investor dalam negeri, hingga investor asing. Investasi dalam pengelolaan pulau-pulau kecil sebagai usaha resort adalah investasi yang paling banyak diminati. Salah satunya, di Kabupaten Kepulauan Anambas, Provinsi Kepulaun Riau. Kabupaten Kepulauan Anambas memiliki sekitar 256 pulau. Dari 256 pulau itu, hanya 26 yang telah berpenghuni. Artinya, dari pulau-pulau tersebut terdapat sekitar 230 pulau yang tidak berpenghuni dan rentan dikuasai tanpa prosedur.
Berdasarkan data pulau-pulau yang memiliki potensi investasi pada Anambas Archipelago di Kecamatan Palmatak sampai dengan periode TW. II. Tahun 2017 di Kabupaten Kepulauan Anambas terdapat 39 pulau yang menjadi target investasi. Kemudian data pulau-pulau yang memiliki potensi investasi Anambas Archipelago yang sudah diinvestasikan oleh PMDN dan PMDA terdapat 16 pulau. Dari sekian banyak investasi tersebut, diantaranya sedang mengajukan perizinan.
Perizinan memang acap kali dimanfaatkan oleh oknum pejabat dan oknum aparatur pemerintahan sebagai lahan kejahatan korupsi. KPK telah berapa kali menangani kasus korupsi yang berkaitan dengan perizinan. Dalam pantauan media ini, pengelolaaan kekayaan sumber daya alam di Kabupaten Kepulauan Anambas masih banyak menuai konflik kepada masyarakat. Beberapa contoh kasus diantaranya, konflik PT. Kartika Jemaja Jaya (KJJ) yang rencananya akan berinvestasi perkebunan Karet yang akhirnya berujung pembakaran alat berat perusahaan oleh massa. Kemudian, isu penjualan pulau-pulau yang diduga melibatakan oknum perangkat desa yang saat ini masih menjadi misteri. Dan beberapa perizinan investasi terkait pengunaan dan peralihan status kawasan hutan serta pengelolaan pulau-pulau kecil yang perlu dipertimbangkan kembali dari berbagai aspek, ekonomi, yuridis, sosial dan budaya serta pertahanan nasional.
Undang-undang Republik Indonesia nomor 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah merupakan salah satu bentuk pendelegasian negara kepada provinsi untuk mengelola sumber daya alam di laut yang ada di wilayahnya. Pada pasal 27 kewenangan daerah provinsi untuk mengelola sumber daya alam di laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a.eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut di luar minyak dan gas bumi; b.pengaturan administratif; c.pengaturan tata ruang;
Daerah provinsi diberikan kewenangan untuk mengelola sumber daya alam di laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan. Kewenangan yang diberikan kepada provinisi itu tentunya perlu ditinjau kembali, dan diperlukan pula, peran kepala daerah setingkat kabupaten untuk ikut bersama-sama melakukan kontrol yang menyangkut segala sumber daya alam yang berada di wilayahnya.
Berangkat dari apa yang telah menimpa gubernur Kepulauan Riau, tentunya menjadi pelajaran bagi setiap pemerintah daerah lainnya. Khususnya, kepala daerah dalam memberikan izin harus benar-benar teliti, sehingga tidak terjadi pelanggaran hukum yang pada akhirnya akan berurusan dengan lembaga KPK. Selain itu, KPK juga diharapkan untuk turun ke daerah-daerah dalam rangka memantau langsung beberapa potensi sumber daya alam, dan investasi untuk dilakukan penyelidikan. Apakah investasi tersebut seimbang dengan dampak kerusakkan sumber daya alam. Saat ini hanya KPK menjadi harapan terakhir bangsa ini untuk terus memantau setiap sumber kekayaaan negara, baik itu sumber daya alam, maupun penggunan keuangan negara.
Tajuk Redaksi Metrosidik.
Edisi: 15 Juli 2019.
Penulis: Fitra Hadi