Belum lepas dari belenggu Covid-19, puluhan pekerja pasir laut di Anambas terpaksa berhenti, ‘setoran’ uang jajan jadi persolan.
“Apak (bapak) sekarang ke hutan cari madu, pasir tak boleh lagi diambil ,” celoteh seorang bocah yang ‘kehilangan’ uang jajan.
Bocah ‘kehilangan’ uang jajan, sang bapak kehilangan pekerjaan, bukan sekedar ocehan, tak lain sebuah realita kehidupan para pekerja pasir (penambang tradisional) di laut Kabupaten Kepulauan Anambas yang kian hari makin terhimpit banyak persoalan.
Lokasi tambang tradisional itu terletak di perairan Kecamatan Siantan Timur, tepatnya di Desa Air Putih. Lebih dari 70 kepala keluarga menggantungkan hidupnya sebagai penambang tradisional pasir laut. Kebanyakan mereka (penambang) berasal dari Kecamatan Siantan dan juga turut serta warga setempat.
Pekerjaan itu telah dilakoni selama puluhan tahun hingga turun temurun, bahkan jauh sebelum pemekaran Kabupaten Kepulauan Anambas dari Kabupaten Natuna pada tahun 2008 silam.
Tidak sedikit sumber material pembangunan infrastruktur milik Pemerintahan Kabupaten Kepulauan Anambas berasal dari penambang pasir tradisional ini. Beberapa diantaranya pembangunan Gedung DPRD Kabupaten Kepulauan Anambas. Bahkan Kantor Bupati Kepulauan Anambas juga berasal dari mereka.
Masih dalam belenggu covid-19, narasi kerusakan ekosistem lingkungan serempak pula dipersoalkan. Narasi ekosistem ini cukup ampuh membangun opini dan menggerakan warga setempat untuk menghentikan mata pencaharian para pekerja pasir.
Narasi ekosistem itu bahkan berpotensi menjadi konflik antara penambang dan warga setempat. Narasi ekosistem mendadak ini pun patut dicurigai disusupi kepentingan.
Sekitar dua bulan terhenti, sebagian dari mereka mendadak jadi pengangguran, diantaranya beralih pekerjaan sebagai pencari madu di hutan agar dapat bertahan.
Langkah Politik dan Kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Kepulauan Anambas
Regulasi dan kebijakan dari pemerintah daerah belum berpihak kepada mereka. Potensi penindakan hukum dan konflik sosial menjadi hal yang paling ditakutkan bagi para penambang. Puluhan tahun para pekerja pasir baik laut dan darat ini menyandang status sebagai penambang ilegal.
Ya, mereka diabaikan. Pemerintah daerah tidak menyediakan ruang untuk mereka. Atas nama konstitusional hak mereka ‘dirampas’ negara tanpa ada upaya gerakan politik lokal dalam menyuarakan aspirasi sebagai warga negara yang berhak memperoleh kehidupan yang layak. Bukankah itu termasuk tindakan inkonstitusional negara.?
Gerakan politik yang diharapkan seharusnya dapat melindungi hak masyarakat setempat tidak pernah dibicarakan di gedung DPRD. Setidaknya ada beberapa catatan dalam perubahan Undang-Undang Tentang Pemerintah Daerah yang sama sekali tidak ada langkah dari politikus lokal maupun langkah hukum untuk mempertahankan pemerintah daerah yang benar-benar otonom.
Misalnya perubahan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah menjadi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah. Perubahan tersebut telah melimpahkan kewenangan wilayah perairan dari bibir pantai ke pemerintah provinsi yang sebelumnya menjadi kewenangan Kabupaten/Kota.
Lalu perubahan Undang-Undang tahun 2007 diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Penetapan Kawasan Konservasi Perairan Nasional (KKPN) melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 37/KEPMEN-KP/2014. Kemudian Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 31 Tahun 2020 Tentang Pengelolaan Kawasan Konservasi.
Kemudian penetapan Wilayah Wisata Perairan (TWP) di Kabupaten Kepulauan Anambas Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No 53 Tahun 2014. Wilayah yang ditempati oleh TWP Kepulauan Anambas seluas 1.262.686,20 hektare.
Bahkan, lokasi penambang tradisional pasir laut di wilayah perairan Teluk Barat Hingga Batu Kasa, Desa Air Putih termasuk wilayah zona inti dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No 53 Tahun 2014.
Luas keseluruhan wilayah Kabupaten Kepulauan Anambas sekitar 46.664,15 km². Dari jumlah tersebut hanya 634, 37 km² (1.3%) saja berupa daratan. Sedangkan 46.056,43 km² (98,7%) merupakan wilayah perairan.
Tentunya sangat masuk akal jika luas wilayah perairan yang mencapai 98,7 persen itu diberikan sedikit ruang untuk para usaha penambang pasir tradisional. Jika daratan yang tersisa 1.3 persen itu dieksploitasi untuk kegiatan pertambangan kemungkinan besar Kecamatan Siantan akan tenggelam.
Nah dari sekian perubahan undang-undang, dan peraturan menteri yang telah dibuat nyatanya menimbulkan persoalan sosial dan ekonomi masyarakat setempat. Sisi lain lembaga legislatif dan kepala daerah tidak mau pusing.
Kelalaian pemerintah Kabupaten Kepulauan Anambas dalam soal regulasi perizinan pertambangan tak bisa dibantah. Nyatanya hingga hari ini tidak satupun kegiatan penambangan pasir di wilayah itu legal. Mirisnya hasil penambangan pasir ilegal itu dimanfaatkan untuk pembangunan insfratruktur milik Pemerintah Daerah Kabupaten Kepulauan Anambas.