Corporate Social Responsibility (CSR) mulai banyak dikenal. CSR lahir oleh adanya teori yang menganalogikan bahwa perusahaan identik dengan manusia. Manusia yang merupakan bagian atau anggota dari masyarakat memiliki tanggung jawab terhadap masyarakat, sehingga perusahaan mempunyai tanggung jawab kepada masyarakat. Suatu perusahaan hanya dapat hidup, tumbuh dan berkembang apabila memperoleh dukungan dari masyarakat, karena pada dasarnya masyarakatlah yang merupakan pemasok utama kebutuhan perusahaan sekaligus sebagai pemakai produk (barang dan jasa) dari perusahaan. (Sri Redjeki Hartono, 2000; 5).
Kegiatan ekonomi perusahaan sangat simultan, sehingga dapat menimbulkan atau melahirkan berbagai dampak hukum yang sangat luas, baik di bidang politik, sosial, ekonomi maupun budaya. Berbagai dampak atau akibat hukum itulah yang merupakan tanggung jawab perusahaan. Tanggung jawab ini dapat berupa tanggung jawab bidang ekonomi (profit), sosial (people) dan lingkungan (planet), yang oleh John Elkington dikenal dengan Triple Bottom Line yaitu economic prosperity, enviromental quality, dan social justice (Teguh S. Pambudi, 2005: 48). Tanggung jawab inilah yang sering dikenal dengan tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility).
CSR merupakan tanggung jawab moral perusahaan terhadap masyarakat. Ia dapat diarahkan kepada banyak hal seperti, kepada dirinya sendiri atau pemodal, para karyawan dan atau buruh, perusahaan lain, pemasok, konsumen, penyalur, media massa, masyarakat sekitar, pemerintah dan lain-lain (K. Bertens, 1997: 292).
Pemerintah daerah (Pemda) merupakan salah satu stakeholders dari perusahaan, sehingga perusahaan juga harus memperhatikan dan bertanggung jawab kepada pemerintah daerah baik secara yuridis maupun sosial. Wujud tanggung jawab sosial perusahaan (TJSP) kepada pemda di antaranya dengan melakukan kegiatan yang bersinergi dengan program pemda. Pertanyaannya, apakah pemerintah daerah dapat menerbitkan peraturan daerah tentang CSR?
Perda tentang CSR
Bank Dunia (Swa Sembada, 2005: 47-48) sebagaimana dikutip Teguh S. Pambudi, menyatakan bahwa “Corporate social responsibility is the commitment of business to contribute to sustainable economic development working with employees and their representatives, the local community and society at large to improve quality of life, in ways that are both good for business and good for development “.
Berpijak dari definisi tersebut maka pada asasnya dapat dikatakan bahwa tanggung jawab sosial perusahaan merupakan komitmen bisnis/ perusahaan untuk berperilaku etis dan berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, seraya meningkatkan kualitas hidup karyawan dan keluarganya, komunitas lokal dan masyarakat luas.
Mengacu pada definisi tersebut maka perusahaan harus melakukan internalisasi biaya terhadap kepentingan masyarakat di sekitar perusahaan, pencegahan pencemaran lingkungan dan memperhatikan aspek etis dalam mengembangkan usaha. Internalisasi biaya dimaksudkan adalah perusahaan menganggarkan atau mengalokasikan sebagian dari dananya untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran dalam rangka mengembangkan masyarakat di sekitar perusahaan beroperasi, dan menjaga agar kualitas lingkungan perusahaan beroperasi agar tidak mengalami kemerosotan. Selain itu, perusahaan sebagai bagian dari komunitas masyarakat di sekitarnya perlu menjalankan perusahaan dengan menjunjung tinggi aspek-aspek etis.
Dapat dikatakan pula bahwa CSR adalah tanggung jawab perusahaan untuk menyesuaikan diri terhadap kebutuhan dan harapan stakeholders sehubungan dengan isu-isu etika, sosial dan lingkungan, di samping ekonomi (Cybernews Pertamina, 2004: 2). TJSP ini diletakkan pada tangan para manajer, karena tangan manajerlah yang akan menentukan suatu perusahaan merencanakan dan mengimplementasikannya atau tidak.
Awalnya, CSR merupakan tanggung jawab perusahaan bersifat sukarela (voluntary), namun dalam perkembangannya tanggung jawab ini menjadi suatu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh perusahaan. Undang Undang No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, khususnya Pasal 74 mewajibkan perseroan untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan, meskipun kewajiban ini masih terbatas pada perseroan yang kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam.
Setelah kurang lebih lima tahun Undang Undang Perseroan Terbatas ini berlaku peraturan pelaksanaannya baru dikeluarkan yaitu dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas. Dalam peraturan pemerintah ini disebutkan bahwa tanggung jawab sosial dan lingkungan merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan Perseroan Terbatas baik di dalam maupun di luar lingkungan perseroan. Peraturan pemerintah ini mewajibkan perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan.
Dalam rangka melaksanakan Undang-undang dan Peraturan Pemerintah tentang tanggung jawab sosial dan lingkungan tersebut maka pemerintah daerah dapat melakukan intervensi agar CSR benar-benar dapat berjalan dengan baik sesuai dengan yang diharapkan yaitu berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, seraya meningkatkan kualitas hidup karyawan dan keluarganya, komunitas lokal dan masyarakat luas. Pemerintahan kabupaten/kota di antaranya berdasarkan Pasal 14 ayat (2) UU Pemerintahan Daerah dapat menyelenggarakan urusan yang bersifat pilihan seperti urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.
Dalam rangka menyinergikan program pemda dan kegiatan perusahaan yang berkaitan dengan CSR maka pemda sebagai pemegang kekuasaan otonomi di daerah dapat menyusun peraturan daerah yang mengatur tentang pelaksanaan CSR. Namun, intervensi pemerintah daerah dengan menerbitkan peraturan tersebut jangan sampai mempersulit perusahaan dalam melaksanakan CSR dan jangan sampai mengalihkan dana CSR dari perusahaan ke kas daerah, karena akan tidak sesuai dengan filosofi CSR.
Akhirnya dengan mengacu pada peraturan-peraturan di atas, maka pemerintah daerah dapat membentuk peraturan yang bersifat teknis tentang CSR. Peraturan tersebut akan dapat berlaku efektif jika disusun dengan memperhatikan dan mengacu pada tata cara penyusunan peraturan perundangundangan yang berlaku dengan melibatkan stakeholders dari CSR.
Drs. Suparnyo, SH, MS, Ketua Program
Magister Ilmu Hukum UMK
Sumber ( http://infomuria.umk.ac.id )