JAKARTA, METROSIDIK.CO.ID — DPR akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi UU dalam Rapat Paripurna ke-19 Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2021-2022 di Gedung DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (12/4/2022). Rapat paripurna ini dipimpin langsung oleh Ketua DPR Puan Maharani yang terlihat menangis usai mengesahkan RUU TPKS tersebut.
Wakil Ketua Badan Legislasi yang juga merupakan Ketua Panja RUU TPKS Willy Aditya menyebutkan terdapat delapan poin penting dari RUU TPKS yang telah disahkan ini. Menurut Willy, delapan poin pokok tersebut merupakan hasil pembahasan 588 daftar inventarisasi masalah (DIM) yang disepakati DPR dan pemerintah.
“RUU tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual terbagi dalam 588 DIM. Pembahasan DIM dilakukan oleh Panja secara detail, intensif, dan tetap mengedepankan prinsip musyawarah untuk mufakat,” ujar Willy.
Willy kemudian membeberkan delapan poin tersebut. Pertama, terkait cakupan tindak pidana kekerasan seksual, disepakati sembilan jenis tindak pidana kekerasan seksual, yakni pelecehan seksual nonfisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual dan kekerasan seksual berbasis elektronik. Kesembilan jenis tindak pidana ini diatur dalam Pasal 4 ayat (1) RUU TPKS.
Selain itu, dalam RUU ini juga dinyatakan 10 tindak pidana lain sebagai tindak pidana kekerasan seksual yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lain (Pasal 4 ayat (2) RUU), meliputi perkosaan; perbuatan cabul; persetubuhan terhadap anak, perbuatan cabul terhadap anak, dan/atau eksploitasi seksual terhadap anak; perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak korban; pornografi yang melibatkan anak atau pornografi yang secara eksplisit memuat kekerasan dan eksploitasi seksual; pemaksaan pelacuran; tindak pidana perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi seksual; kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga; tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya merupakan tindak pidana kekerasan seksual; dan tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas sebagai tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penyebutan 10 jenis rindak pidana kekerasan seksual yang diatur dalam undang-undang lain, penting agar hukum acara yang digunakan dalam penanganannya juga menggunakan hukum acara sebagaimana diatur dalam RUU tentang tindak pidana kekerasan seksual.
“Jadi, pasca RUU tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual disahkan menjadi Undang-Undang, penanganan atas setiap perkara tindak pidana kekerasan seksual mengacu pada hukum acara yang diatur dalam RUU ini dengan aturan dasarnya tentu tetap mengikuti hukum acara pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),” ungkap Willy.
Kedua, perluasan cakupan pelaku dan keadaan korban sebagai alasan pemberatan ancaman pidana (dengan ditambah 1/3) dari ancaman pidana pokok (Pasal 15 RUU). Ketiga, restitusi yang sebelumnya sebagai pidana tambahan, ditempatkan sebagai bagian dari pidana pokok (Pasal 16 RUU).
Keempat, dalam hal pelaku tidak mampu dan tidak ada pihak ketiga yang membayar restitusi kepada korban, negara memberikan kompensasi sejumlah restitusi yang kurang bayar kepada korban sesuai dengan putusan pengadilan (Pasal 35 RUU). Kelima, pengaturan mengenai adanya dana bantuan korban (Pasal 35 ayat (2) RUU). Keenam, perkara tindak pidana kekerasan seksual tidak dapat diselesaikan di luar proses peradilan, kecuali terhadap pelaku merupakan anak (Pasal 23 RUU).
Ketujuh, korban diberikan hak atas penanganan, pelindungan, dan pemulihan sejak terjadinya tindak pidana kekerasan seksual (Pasal 66 sampai Pasal 71 RUU). Kedelapan, hukum acara atas tindak pidana kekerasan seksual diatur secara komprehensif mulai dari penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dengan menghormati hak asasi manusia, kehormatan, dan martabat serta tidak intimidatif (Pasal 52 sampai Pasal 64 RUU).