METROSIDIK.CO.ID — Kerangkeng milik Bupati nonaktif Langkat, Terbit Rencana Perangin-angin mengejutkan seantero negeri. Praktik perbudakan yang sudah lama ditinggalkan, ternyata masih ada yang melakukannya.
Nyatanya, praktik perbudakan pernah terjadi di Indonesia. Gedung Museum Sejarah Jakarta menjadi saksi bisu jika praktik perbudakan pernah subur di negeri ini.
Saksi bisu perbudakan di gedung yang pernah dipuji Ratu Elizabeth ketika berkunjung ke Indonesia itu adalah penjara bawah. Menjelang peristiwa pemberontakan warga Tionghoa, penjara yang sempit dan gelap itu dijejali 500 tawanan Cina. Mereka seluruhnya dibunuh pada peristiwa yang kelam di kota Jakarta ini.
Dilihat dari segi ekonomi, di Batavia kepemilikan kereta kuda adalah suatu lambang kekayaan. Nilai sebuah kereta sama dengan mobil mewah sekarang.
Masih ada satu persamaan lagi, yaitu memperpajak barang mewah dengan pajak khusus. Tahun 1717 dikeluarkan keputusan bahwa kereta kuda harus dipajaki. Seorang pengusaha kaya yang menolak ketentuan ini menghadapi pilihan: membayar pajak atau akan didenda dan dilarang untuk menggunakan kereta kuda selama-lamanya.
Berapa jumlah tahanan di gedung balaikota Belanda, tidak diketahui. Tetapi, jumlahnya sangat bervariasi. Sampai 1763 dipakai untuk menahan seseorang karena ia berutang, seumur hidup.
Di kemudian hari kebiasaan ini diubah jadi enam tahun. Beberapa orang Cina memilih ditahan daripada harus melunasi utangnya.
Dari Museum Sejarah DKI Jakarta, jejak perbudakan juga ada di Gedung Arsip Nasional di Jalan Gajah Madah. Meskipun jaraknya tidak sampai 10 km dari Pasar Ikan (pusat kota Batavia kala itu), tapi gedung yang dibangun oleh Gubernur Jenderal Reinier de Klerk (1715-1780) itu dulunya merupakan sebuah vila yang berada jauh di luar kota.
Gedung itu masih tertata rapi dan dilestarikan bentuknya seperti 250 tahun lalu. Di bagian kiri dan kanan sayap terdapat puluhan kamar-kamar kecil.
Di kamar-kamar inilah tempat para budak tidur, setelah sejak pagi dan malam bekerja tanpa mengenal waktu. Kala itu, kaum budak merupakan hampir setengah dari penduduk Batavia, dan bernasib sangat buruk.
Kala itu jual beli budak sangat menguntungkan. Ini juga dilakukan oleh nyonya de Klerk. Di halaman tengah gedung yang luas itu terdapat ‘lonceng perbudakan’. Bila lonceng itu dibunyikan pada dini hari, para budak harus segera bangun sekalipun mereka masih lelah.
Ketika serdadu atau kelasi VOC jadi warga Batavia, ambisi mereka adalah memiliki satu atau dua orang budak. Dan, celaka bagi para budak jika jatuh ketangan mereka. Karena, dipaksa kerja siang malam tanpa istirahat.
Mereka menyiksa para budak yang malang dengan begitu kejamnya, sehingga sebagian besar putus asa dan bunuh diri. Bernand Dorleans dalam buku Orang Indonesia – Orang Prancis menuturkan, ketika ia berada di Batavia ada budak yang gantung diri, dan dua budak menggorok lehernya sendiri.
Jika para pria merupakan penyebab para budak bunuh diri, maka para wanita majikan lebih kejam lagi dengan bersenang-senang membunuh sendiri para budak serta memuaskan mata-mata mereka dengan tontonan yang lebih menyeramkan.