JAKARTA, METROSIDIK.CO.ID — Jaksa Agung ST Burhanuddin mengakui penerapan sanksi pidana mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi memiliki beberapa persoalan, salah satunya penolakan dari aktivis Hak Asasi Manusia (HAM). Aktivis HAM mendapat dukungan dari dunia internasional yang mendorong setiap negara menghapus regulasi hukuman mati dengan dalih hak hidup merupakan hak mutlak yang tidak dapat dicabut oleh siapa pun kecuali Tuhan.
“Penolakan aktivis HAM ini tentunya tidak dapat kita terima begitu saja. Sepanjang konstitusi memberikan ruang yuridis dan kejahatan tersebut secara nyata sangat merugikan bangsa dan negara, maka tidak ada alasan bagi kita untuk tidak menerapakan hukuman mati,” kata Burhanuddin dalam webinar yang digelar Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, secara daring, Kamis, (18/11/2021).
Burhanuddin mengatakan perlu menyadari eksistensi hak asasi mesti bergandengan dengan kewajiban asasi. Artinya, negara senantiasa melindung hak asasi setiap orang, namun di satu sisi orang tersebut juga memiliki kewajiban menghormati hak orang lain.
Dia menjelaskan peletakan pola dasar hukum Pancasila dengan menekankan adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban merupakan keharusan. Hal itu agar tercipta tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
“Dalam Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945, hak hidup adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun,” kata dia.
Namun, dilihat dari sistematika penyusunan pasal-pasal yang mengatur tentang perlindungan HAM di dalam UUD 1945, maka akan tampak suatu pembatasan HAM yang tertuang di pasal penutupnya. Ketentuan Pasal 28 J ayat (1) UUD 1945 mewajibkan setiap orang menghormati HAM orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Kemudian dalam pasal penutup HAM yaitu Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945 menegaskan HAM dapat dibatasi dan bersifat tidak mutlak. “Negara dapat mencabut HAM setiap orang apabila orang tersebut melanggar undang-undang,” tegas Burhanddin.
Burhanuddin menyebut berdasarkan ketentuan Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945, penjatuhan sanksi pidana mati pada koruptor yang selama ini terhalangi persoalan HAM dapat ditegakkan. Persoalan lain dalam penerapan hukuman mati terhadap koruptor yakni ada pandangan yang menghendaki dihapuskannya sanksi pidana mati dengan argumentasi sanksi pidana mati tidak menurunkan kuantitas kejahatan.
Pandangan tersebut dilawan Burhanuddin dengan pertanyaan serupa secara a contrario yaitu, apabila sanksi pidana mati untuk koruptor dihapuskan, apakah lantas akan terjadi penurunan kuantitas tindak pidana korupsi?
“Mengingat perkara korupsi belum ada tanda-tanda hilang dan justru semakin meningkat kuantitasnya, maka sudah sepatutnya kita melakukan berbagai macam terobosan hukum sebagai bentuk ikhtiar pemberantasan korupsi,” kata Burhanuddin.
Namun, Burhanuddin menyebut penerapan hukuman mati bagi koruptor perlu dikaji lebih dalam untuk memberikan efek jera. Selama ini kejaksaan telah melakukan beragam upaya penegakan hukum, misalnya menjatuhkan tuntutan yang berat sesuai tingkat kejahatan, mengubah pola pendekatan dari follow the suspect menjadi follow the money dan follow the asset, serta memiskinkan koruptor.
Burhanuddin mengaku efek jera hanya dialami terpidana untuk tidak mengulangi kejahatan. Efek jera ini belum sampai ke masyarakat, karena koruptor silih berganti dan tumbuh di mana-mana.
Sebelumnya, Jaksa Agung menggulirkan wacana hukuman mati terhadap koruptor. Hal ini berkaca dari dua kasus megakorupsi yakni pengelolaan keuangan dan dana investasi pada PT ASABRI dan PT Asuransi Jiwasraya.
Kedua kasus korupsi tersebut berdampak besar bagi masyarakat luas terutama pegawai dan anggota asuransi tersebut. Kerugian negara yang ditimbulkan sangat besar, yakni Rp16,8 triliun untuk kasus Jiwasraya dan Rp22,78 triliun di kasus ASABRI.
Selain itu, terdapat dua terdakwa yang sama di dua kasus tersebut, yakni Benny Tjockrosaputro dan Heru Hidayat.