Mantan Pimpinan KPK Duga Ada Konflik Kepentingan dalam Anggaran Penanganan Covid-19

Mantan Pimpinan KPK Duga Ada Konflik Kepentingan dalam Anggaran Penanganan Covid-19
Laode Syarif (Foto: Detik.com/Ari Saputra)

METROSIDIK.CO.ID, JAKARTA — Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode Muhammad Syarif melihat adanya konflik kepentingan dalam penentuan anggaran penanganan Covid-19. Dalam sebuah diskusi virtual, dia mengungkapkan dugaan itu terlihat dari kenaikan anggaran penanganan Covid-19 dari Rp695,2 triliun menjadi Rp1.500 triliun.

Ditambah, kata dia, penetapan anggaran besar itu diambil tanpa persetujuan DPR. Dia melihat peruntukan alokasi anggaran pun belum terbuka dan kurang jelas karena disusun dalam kondisi darurat.

“Kalau kita lihat dari Rp600 triliun lebih, sekarang itu menjadi lebih dari Rp1.500 triliun dan itu hanya eksekutif yang bekerja. Jadi tanpa persetujuan DPR,” kata Laode dalam diskusi virtual dengan tema ‘Menyoal Konflik Kepentingan: Masalah Integeritas dan Etika Pejabat Publik’, Minggu (15/8/2021).

Baca juga  Erick Thohir berikan15 Persen Direksi BUMN Diisi oleh Perempuan

“Jadi impunitasnya tinggi. Ini dulu awalnya ini ketika waktu itu ketika ini awal-awal Rp650 triliun sekarang Rp 1.500-an triliun, datanya tidak komplit, peruntukannya kurang jelas dan seterusnya,” sambungnya.

Kemudian, dalam Pasal 27 UU nomer 2 tahun 2020, biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk mendukung program-program Covid-19 tidak bisa dianggap sebagai state loss atau kerugian negara.

“Bahkan pejabat publik yang mengeluarkan kebijakan itu tidak bisa dituntut secara perdata, secara pidana bahkan tidak bisa ditentang di Pengadilan Tata Usaha Negara. Jadi impunitasnya tinggi, coba baca Pasal 27 UU nomer 2 tahun 2020 ya,” ujarnya.

Baca juga  Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin Minta Fungsi Legal Audit Digalakkan

Dalam paparan Laode, disebutkan OECD (Organization for Economic Co-operation and Development) menilai tentang emergency respons terkait dengan penanganan Covid-19. Anggaran negara yang banyak dipindahkan untuk penanganan Covid-19 akan rawan disalahgunakan karena ditetapkan terburu-buru, dengan alasan keadaan darurat.

“Saya diundang oleh OECD untuk pada awal-awal Covid di Indonesia. Mereka menilai tentang emergency respons dari masing-masing pemerintah, bukan cuma Indonesia. Tapi Uni Eropa dan lain-lain, mereka melihat, mencium adanya ini emergency respons ini akan berakibat kurang baik, karena terburu-buru dan kalau terburu-buru biasanya juga banyak disalahgunakan,” jelasnya.

Dia menyebut ada kepentingan berbeda dari para pejabat publik. Ada yang secara terang-terangan dan ada pula yang terselubung.

Baca juga  Terkait TWK, Direktur KPK sebut Kami tak Diinginkan Lanjutkan Berantas Korupsi

“Yang ada terselubung misalnya, vaksin berbayar. Sudah kita mengimpor vaksin dengan uang negara, dengan hasil pajak kita, terus ada tiba-tiba mau dibuka swab untuk berbayar. Siapa yang akan mendapatkan keuntungan dari yang dibayar itu, apakah itu berbeda dengan vaksin yang dibeli oleh negara yang dengan uang sebelumnya, seperti itu,” ucapnya.

“Jadi, kalau ini mungkin agak terselubung. Kalau yang politukus PAN itu terbuka, yang terselubung-terselubung ini biasanya agak sulit,” tambahnya.

Tak hanya itu, Laode menduga adanya State Captured Corruption yang mana satu pemerintahan memfasilitasi perusakan atau penyelewengan uang negara dengan kebijakan atau regulasi.

Baca juga  Tingginya Kasus Covid-19, Kebutuhan Oksigen Meningkat Sehari 1.700 Ton

“sehingga seakan-akan dibuat menjadi legal. Akhirnya enggak bisa ditangkap karena perbuatan melawan hukumnya tidak ada,” ungkapnya.

“Ya salah satunya membiarkan kejahatan di depan mata, yang berikutnya mendapatkan keuntungan pribadi dari perusakan. Ini dalam konteks tadi UU Minerba ya. Jadi menurut saya, this is more than conflict of interest, bisa saja ini State Captured Corruption,” tutupnya.

 

 

jasa website rumah theme

Pos terkait