Kasus Perum Perindo ini bermula pada tahun 2017. Perusahaan ini menerbitkan MTN (Medium Tern Notes) atau hutang jangka menengah untuk mendapatkan dana dengan cara menjual Prospek.
Adapun prospek yang dijual Perum Perindo dalam hal penangkapan ikan, selanjutnya Perum Perindo mendapatkan Dana MTN sebesar Rp 200 miliar yang cair pada Bulan Agustus 2017 sebesar Rp 100 miliar dengan return 9% dibayar per triwulan, jangka waktu tiga tahun yang jatuh tempo pada bulan Agustus 2020.
Lalu, pada Desember 2017 Rp 100 miliar dengan return 9,5% dibayar per triwulan dalam jangka waktu tiga tahun yang jatuh tempo pada Desember 2020. Hutang jangka menengah diterbitkan di tahun 2017 sebesar Rp 200 miliar untuk digunakan sebagian besar dananya buat modal kerja perdagangan.
“Hal ini bisa dilihat dengan meningkatnya pendapatan perusahaan yang di tahun 2016 sebesar kurang lebih dari Rp 233 miliar meningkat menjadi kurang lebih Rp 603 miliar dan mencapai kurang lebih Rp 1 triliun di tahun 2018. Kontribusi terbesar berasal dari pendapatan perdagangan,” terang dia.
Karena fokus dengan pencapaian yang dilakukan dengan melibatkan semua unit usaha untuk perdagangan. Sehingga menimbulkan permasalahan kontrol transaksi perdagangan menjadi lemah, dimana masih terjadi transaksi walau mitra terindikasi macet.
“Kontrol yang lemah dan pemilihan mitra kerja yang tidak hati-hati menjadikan perdagangan pada saat itu, perputaran modal kerjanya melambat dan akhirnya sebagian besar menjadi piutang macet sebesar Rp 181.196.173.783,” sebut Eben.