METROSIDIK.CO.ID, JAKARTA — Anak muda merupakan salah satu kelompok yang rentan terpapar terorisme. Karena itu, perlu langkah-langkah pencegahan seperti memilih guru agama yang benar dan mengoptimalkan peran penting keluarga agar anak muda tidak terjerumus dalam terorisme.
Demikianlah inti dari diskusi daring bertajuk “Anak Muda dan Terorisme” yang digelar Partai Solidaritas Indonesia (PSI) pada Senin (5/6/2021) malam. Dalam diskusi ini hadir sejumlah narasumber, antara kain Mantan Terpidana Terorisme, Sofyan Tsauri, Psikolog Klinis Forensik, A. Kasandra Putranto, Totoh Yayasan Prasasti Perdamaian Noor Huda Ismail dan Pengamat Intelijen Ridlwan Habib. Diskusi ini dimoderatori Juru Bicara DPP PSI, Faldo Maldini,
Sofyan Tsauri mengatakan anak muda perlu berhati-hati mencari guru yang akan dijadikan rujukan dalam memahami agama.
“Perlu menjadi perhatian, bahwa hati-hati dalam mencari guru (agama). Boleh Anda jadi orang saleh, orang baik, tapi jangan pernah salah cari guru. Karena nanti takutnya, Anda berkarier di sana, kemudian puncaknya Anda menjadi teroris,” ujar Sofyan dalam diskusi tersebut.
Mantan orang penting dalam kelompok Al-Qaeda Asia Tenggara itu, juga menyebut hampir semua aksi terorisme yang terjadi di dunia, termasuk di Indonesia, berakar dari paham Wahabi dan Salafi. Menurut dia, jika bertemu dengan guru yang mempunyai kecenderungan ke paham tersebut, maka berpotensi menjadi teroris.
Selain mencari guru agama yang tepat, kata Sofyan, kembali pada ajaran Islam seperti yang diamalkan Rasulullah SAW (Ahlussunnah wal Jamaah) juga merupakan cara melawan paham sesat radikalisme dan terorisme.
“Kalau mau sembuh dari penyakit radikalisme, intoleransi dan terorisme, maka kembali kepada pemahaman Ahlussunnah (wal Jamaah),” tutur Sofyan.
Sementara Psikolog Klinis Forensik, A. Kasandra Putranto, mengatakan keterlibatan perempuan dan anak muda dalam aksi terorisme yang terjadi di Indonesia belakangan ini juga dipengaruhi pergeseran geopolitik dunia. Kasandra mencontohkan, dahulu kelompok teroris Jamaah Islamiyah (JI) tidak memperbolehkan perempuan dan anak muda “berjihad”. Namun sekarang, kata dia, nilai itu bergeser seiring dominasi kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD) menggantikan kelompok JI.
“Kalau dulu, Jamaah Islamiyah tidak mengenal jihad yang dilakukan perempuan dan anak (muda) karena memang tidak diizinkan, tetapi ketika ada kelompok baru dan punya nilai yang berbeda, mulailah muncul itu (teroris perempuan dan anak muda),” ungkap Kasandra.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukannya, Kasandra menyebut peran keluarga sangat vital dalam membentuk karakter seseorang untuk menjadi teroris. Menurut dia, terdapat dua sisi, yakni potensi menjadi teroris karena sejak dini diajarkan paham radikal atau sama sekali tidak mengajarkan prinsip-prinsip toleransi dalam kehidupan.
“Yang paling banyak itu faktor keluarga, jadi apakah di dalam keluarga itu memang sudah diajarkan radikal sejak dini, atau justru karena tidak diajarkan prinsip-prinsip toleransi sama sekali,” imbuhnya.
Di samping faktor keluarga, lanjut dia, ada juga faktor pergaulan seperti di lingkungan sekolah dan masyarakat, yang juga ikut mempengaruhi seseorang terlibat dalam terorisme. Khusus anak muda, kata Kasandra, tergelincir dan menjadi pelaku aksi teror karena juga terpapar informasi menyesatkan dari media sosial.
“Paham-paham terorisme itu juga disebarkan, disampaikan dan paling fatal adalah melalui media sosial,” tegas dia.
Pembicara lain Noor Huda Ismail dari Yayasan Prasasti Perdamaian, menyoroti khususnya tentang nilai-nilai maskulinitas yang mendorong lahirnya teroris. Kelompok teroris Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) pun, kata Ismail, kerap memelintir ayat dalam Al-Quran untuk membangkitkan semangat juang dan membuat banyak laki-laki menjadi martir terorisme.
“Ternyata, gelora Akbar (teroris asal Aceh) bergabung ke terorisme itu lebih karena heroisme, ‘wah bawa AK-47 kelihatan keren’. Narasi-narasi ISIS ketika itu memang selalu bikin galau lelaki yang ingin mencari jati diri,” ujar Ismail.
Langkah Pemerintah Dikritik
Pada kesempatan ini, Pengamat Intelijen Ridlwan Habib mengkritik cara-cara yang diambil pemerintah dalam menangani terorisme. Pertama, Ridlwan menilai, program deradikalisasi di dalam penjara masih formalistik. “Juga pengawasan terhadap mantan napi yang lemah. Ini terbukti dari sejumlah mantan napi terorisme yang kembali berulah,” tutur dia.
Kedua, menurut Ridlwan, kekalahan pertarungan narasi Islam moderat di media sosial dari narasi-narasi kelompok radikal. Menurut dia, terjadi asymmetric information warfare atau pertarungan informasi yang tidak seimbang di media sosial, di mana narasi Islam moderat tertinggal dari narasi-narasi kelompok takfiri, jihadi dan salafi.
“Kemudian, koordinasi lintas instansi yang harus diperkuat. Misalnya, pelibatan TNI dalam menanggulangi terorisme, yang sayangnya, Peraturan Presiden (Perpres) soal itu belum juga diteken oleh Presiden Jokowi,” tandas Direktur The Indonesia Intelligence Institute ini.
Sumber: