JAKARTA, METROSIDIK.CO.ID — Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) mengkritisi masih banyaknya pasal yang konsepnya tertukar di dalam naskah akademik RUU Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional). RUU tersebut saat ini tengah disusun oleh Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) dan masih berada di tahap perencanaan.
Koordinator Nasional P2G, Satriwan Salim mengatakan, analisis dan kritikan ini disampaikan P2G sebagai bagian dari kritik awal, yang diharapkan konstruktif untuk perbaikan kualitas pendidikan ke depan. Ia mengungkapkan, masih banyak frasa di dalam draf RUU Sisdiknas yang menggambarkan bahwa Kemendikbudristek gagal paham dalam membedakan antara hak dan kewajiban negara.
Salah satunya terlihat dalam frasa “hak warga negara” dengan “kewajiban negara”. Misalkan dalam pasal 12 (RUU Sisdiknas), ada ketentuan “masyarakat wajib” memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan, tentu termasuk pembiayaan pendidikan di dalamnya.
“Padahal seharusnya ‘masyarakat berhak’. Pasal semacam ini berpotensi membuat pemerintah lepas tanggung jawab terkhusus dalam pembiayaan penyelenggaraan pendidikan,” tegas Satriwan dalam keterangan tertulisnya, Minggu, 13 Maret 2022.
Kemudian Kepala Bidang Advokasi Guru P2G, Iman Zanatul Haeri menambahkan, bahwa ada yang lebih menyedihkan. Yakni pembiayaan pendidikan yang dimaksud terbatas pada “pembiayaan dasar” saja, itu pun hanya bagi sekolah dengan kriteria tertentu (pasal 80 ayat 1-3).
Pasal ini jelas sekali membuka ruang diskriminasi pendidikan. Padahal prinsip penyelenggaraan pendidikan adalah berkeadilan, nondiskriminatif, dan inklusif (Pasal 5). “Tampak antara pasal bersifat kontradiktif,” ungkap Iman.
Untuk itu, P2G masih berharap Kemendikbudristek terus membuka ruang dialog yang terbuka, jujur, dan partisipatif bersama semua stakeholder pendidikan. P2G meminta Kemendikbudristek agar jangan terburu-buru mengesahkannya menjadi UU.
“Seperti nasihat orang tua di zaman dulu: ‘Ojo kesusu, ojo grusa grusu, mengko mundhak kleru (Jangan terburu-buru, jangan tergesa-gesa, nanti malah keliru)’. Jangan sampai Kemendikbudristek dan DPR berlindung di balik alasan pandemi, secepat kilat sehingga proses pembahasan RUU ini bernasib seperti RUU Cipta Kerja atau UU IKN,” tegas Satriwan.