Jakarta – Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) dan Serikat Pers Republik Indonesia (SPRI) menggugat Dewan Pers, atas dugaan melakukan Perbuatan Melawan Hukum (PMH). Proses gugatan hari ini, Rabu, 4 Juli 2018, telah memasuki sidang kelima di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Agenda persidangan kali ini masih seputar membuktikan legal standing atau status hukum masing-masing pihak. Kuasa hukum dua organisasi pers, Dolfie Rompas, memaparkan bahwa di persidangan kelima ini ada keberatan dari tergugat. “Tadi ada komplen dari pihak tergugat Dewan Pers, bahwa salah satu legal standing, dari PPWI belum lengkap,” katanya seusai sidang, Rabu (4/7/2018).
“Pemahaman mereka (penasihat hukum Dewan Pers), bahwa legal standing organisasi itu harus berbadan hukum. Padahal di dalam Undang-Undang No. 17 tahun 2013 tentang Ormas, jelas di pasal 16, bahwa Organisasi Masyarakat itu, bisa berbadan hukum bisa juga tidak berbadan hukum,” terang Rompas.
“Kalo untuk berbadan hukum, itu tadi kita jelaskan di hadapan hakim, bahwa memang di-SK-kan oleh Kementrian Hukum dan HAM. Tetapi untuk non badan hukum, cukup dikeluarkan Surat Keterangan Terdaftar dari Kementrian Dalam Negeri, dalam hal ini Kesbangpol,” papar Dolfie.
Lalu, Rompas menjelaskan, “Untuk PPWI sendiri itu sudah memiliki SK Kesbangpol, dan sudah kita tunjukan, tetapi masih kurang puas, tidak apa-apa. Saya suruh mereka coba membaca lagi undang-undang, agar supaya mengerti apa yang dimaksud daripada undang-undang tersebut,” ujarnya.
“Jadi jelas, bahwa tidak ada masalah terkait legal standing penggugat, baik dari PPWI ataupun dari SPRI,” imbuhnya.
“Selanjutnya, proses mediasi antara penggugat dalam hal ini kami penggugat, PPWI dan SPRI dengan Dewan Pers. Pada intinya kami sebagai kuasa hukum mengikuti apa yang diinginkan oleh principal kami,” ungkap Rompas.
“Bahwa apa yang kita gugat, itulah yang dilaksanakan. Ada beberapa kebijakan Dewan Pers yang harus dicabut. Kalau itu dipenuhi, maka kemungkinan mediasi akan terjadi. Tapi kalo tidak, ya kita tetap akan terus berjuang agar supaya kebijakan tersebut dicabut oleh putusan pengadilan. Intinya kita siap untuk bermediasi,” terang Rompas.
Lanjut Rompas, “Dengan catatan bahwa kebijakan-kebijakan yang dianggap, dirasa itu tidak adil, salah satunya adalah uji kompetensi (wartawan) harus dicabut dulu, kalo tidak, ya mediasi sudah kita pastikan akan gagal.”
Dolfie Rompas mengajak para jurnalis seluruh Indonesia mengawal proses persidangan gugatan ini. “Keputusan pengadilan Jakarta Pusat harus benar-benar adil, karena harus kita ingat bahwa pers itu adalah salah satu pilar demokrasi bangsa untuk kemajuan bangsa ini, tidak boleh terjadi kriminalisasi terhadap pers. Sidang akan dilanjutkan minggu depan tanggal Rabu, 11 juli 2018,” tutup Rompas.
Terpisah, ketika dimintai komentarnya tentang hasil sidang tersebut, Ketua Umum PPWI Wilson Lalengke mengatakan bahwa penasehat hukum Dewan Pers itu tidak profesional alias abal-abal. “Penasihat hukum Dewan Pers itu abal-abal, mereka tidak profesional. Buktinya mereka tidak mengerti undang-undang, khususnya UU Keormasan,” ujarnya dalam percakapan via telpon aplikasi whatsaps, di hari yang sama.
Lanjut Wilson, “Saya menyarankan kepada anggota Dewan Pers, agar mempelajari seluruh perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, khususnya penasihat hukumnya. Kemampuan mereka itu belum lebih baik dari mahasiswa hukum yang sedang magang di kantor pengacara.”
Satu lagi, imbuh lulusan PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012 itu, keberadaan Pengurus Dewan Pers itu perlu dipertanyakan. “Mereka anggota Dewan Pers duduk sebagai Dewan Pers, apakah ada SK dari Presiden atau ditunjuk-tunjuk begitu saja?” kata Wilson dengan nada tanya.
Sebab menurut dia, ada oknum komisioner Dewan Pers yang saat ini menjabat sebagai pejabat pemerintah, yakni Sinyo Harry Sarundajang, yang sedang aktif bertugas sebagai Dubes RI di Philipina. “Sudah jelas berdasarkan UU No. 40 tahun 1999, Dewan Pers itu harus independen, tidak ada wakil pemerintah di lembaga tersebut. Eh, kok ada oknum pejabat pemerintah? Penasehat hukum Dewan Pers itu mengerti tidak yaa, kalau yang dibelanya itu adalah lembaga yang legal standingnya cacad hukum?” pungkas alumni Utrecht University, Belanda ini. (TY/Red)