JAKARTA, METROSIDIK.CO.ID – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memaparkan andil eks Direktur Utama Perum Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) Isnu Edhy Wijaya (ISE) terkait kasus korupsi proyek e-KTP. Diketahui, Isnu saat ini ditahan oleh KPK dalam perkara dugaan korupsi proyek e-KTP. Dia ditahan bersama eks Ketua Tim Teknis Teknologi Informasi Penerapan e-KTP Husni Fahmi (HSF).
Diketahui kerugian keuangan negara dalam perkara dugaan korupsi tersebut kurang lebih sebesar Rp 2,3 triliun.
Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar mengungkapkan pengusaha Andi Agustinus bersama Isnu Edhy menemui dua mantan pejabat Kemendagri yaitu Irman dan Sugiharto setelah dimiliki kepastian dibentuknya sejumlah konsorsium untuk terlibat di lelang e-KTP. Agenda pertemuan itu bertujuan agar salah satu konsorsium dapat memenangkan proyek e-KTP.
Dalam pertemuan itu, Irman diketahui setuju dengan persyaratan adanya komitmen berupa pemberian uang kepada sejumlah anggota DPR.
“Setelah adanya pengumuman Pekerjaan Penerapan KTP Elektronik Tahun Anggaran 2011-2012, pada tanggal 28 Februari 2011 ISE, PLS (Paulus Tanos), dan perwakilan vendor-vendor lainnya membentuk Konsorsium PNRI sebagai salah satu dari tiga konsorsium yang dibahas antara Andi Agustinus, ISE, PLS, HSF dan pihak-pihak vendor untuk mengikuti lelang pekerjaan penerapan e-KTP,” kata Lili saat konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (3/2/2022).
Dalam sebuah pertemuan, pemilik PT Quadra Solutions Anang Sugiana mengungkapkan keinginan perusahaannya untuk bergabung di konsorsium tersebut. Baik Andi, Paulus, dan Isnu kemudian menyampaikan kepada Anang bahwa komitmen fee 10% bila perusahaan Anang hendak bergabung di konsorsium tersebut.
“Yaitu dengan rincian 5% untuk DPR dan 5% untuk pihak Kemendagri, yang kemudian disanggupi oleh Anang,” ujar Lili.
Hingga akhirnya terbentuklah konsorsium PNRI. Diketahui kemudian, pemimpin konsorsium yang disepakati adalah PNRI. Hal itu bertujuan agar mempermudah pengaturan kemenangan lelang pekerjaan penerapan e-KTP kepada konsorsium PNRI.
Konsorsium PNRI kemudian mengajukan penawaran paket pengerjaan dengan nominal kurang lebih Rp 5,8 triliun. Isnu lalu membentuk manajemen bersama dan membagi pekerjaan ke anggota konsorsium. Isnu diketahui mengusulkan adanya pemotongan 2% sampai 3% terhadap setiap pembayaran dari Kemendagri untuk pekerjaan yang dilakukan anggota konsorsium.
“Padahal di dalam rincian penawaran senilai Rp 5,8 triliun tidak ada komponen tersebut dan seharusnya semua pembayaran digunakan untuk kepentingan penyelesaian pekerjaan. Pemotongan sebesar 3% tersebut pada akhirnya mempengaruhi pelaksanaan pemenuhan prestasi Perum PNRI itu sendiri,” ungkap Lili.
Atas perbuatannya itu, Isnu Edhy disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Jo Pasal 64 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.