METROSIDIK.CO.ID — Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Utara mendesak pemerintah menutup PT Toba Pulp Lestari (TPL) yang diduga menjadi penyebab kerusakan hutan di Danau Toba, Sumut.
Direktur Walhi Sumut Doni Latuparisa mengatakan, penolakan masyarakat terhadap PT TPL sudah terjadi sejak era 1990-an. TPL juga dituding sebagai perampas tanah milik masyarakat dengan klaim lahan adat.
“PT TPL menjadi ancaman. Tidak hanya perampasan ruang hidup masyarakat, tapi juga potensi bencana ekologis sewaktu-waktu bisa terjadi dan laju deforestasi kawasan hutan sangat masif dilakukan. Ini akan menghasilkan dampak multidimensi yang berkepanjangan,” kata Doni, Kamis (1/7/2021).
Doni memaparkan, saat ini PT TPL memiliki konsesi seluas 269.060 hektare yang tersebar di 11 Kabupaten antara lain Simalungun, Asahan, Toba, Samosir, Dairi, Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, Pakpak Bharat, Padanglawas Utara, dan Humbang Hasundutan.
Perusahaan ini mengantongi izin SK MENHUT No. SK.493/Kpts/II/1992 dengan periode izin tanggal 1 Juni 1992 hingga 31 Mei 2035 (43 tahun).
SK tersebut kemudian diaddendum dengan SK. 351/Menhut/II/2004 sehubungan dengan perubahan nama pada tanggal 24 September 2004; SK 58/Menhut-II/2011 Tanggal 28 Februari 2011 tentang perubahan keempat atas keputusan Menteri Kehutanan No. 493/Kpts-II/1992; Keputusan Menteri Kehutanan No 109/VI/BHt/2010 tentang persetujuan Revisi Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Tanaman Industri (RKUPHHK-HTI) dalam jangka waktu 10 tahun, periode 2010-2019 PT TPL di Provinsi Sumatera Utara; Pemegang Sertifikat PHPL (Pengelola Hutan Produksi Lestari) berdasarkan sertifikat Nomor PHPL 00001 tanggal 25 Oktober 2010; pemilik izin self approval dari Direktorat Bina Usaha Kehutanan (S.693/BUHT-3/2011 tanggal 22 Desember 2011).
Dari luasan konsesi TPL, tambah Doni, Walhi menyoroti kondisi Bentang Alam Tele. Lanskap ini memiliki fungsi ekologis yang sangat penting untuk kawasan Danau Toba. Kawasan ini terancam dengan konsesi PT TPL yang mencapai luas sekitar 68 ribu hektare.
“Bentang Alam Tele merupakan kawasan hutan terakhir yang masih mungkin untuk diselamatkan. Ini penting dilakukan untuk memastikan keberlanjutan stabilisasi iklim dan kontrol debit air Danau Toba,” ucap Doni Latuparisa.
Menurut Doni, Bentang Alam Tele juga memiliki peran penting untuk keselamatan desa-desa yang ada di pinggiran Danau Toba.
Saat ini, pada Bentang Alam Tele, PT TPL belum mengelola lahan. Untuk itu Walhi mendesak pemerintah untuk membatalkan konsesi itu demi keberlangsungan lingkungan.
“Hutan Tele harus diselamatkan dari PT TPL. Kerusakan pada Bentang Alam Tele akan berpotensi membuat bencana ekologis,” ujar Doni.