METROSIDIK.CO.ID — Keberadaan media sosial (medsos) yang diselenggarakan penyedia layanan over the top (OTT) asing yang beroperasi di Indonesia bak pisau bermata dua.
Selain memberikan manfaat, media sosial juga memberikan efek negatif bagi masyarakat Indonesia. Salah satu efek negatif yang ditimbulkan oleh OTT global tersebut di antarannya adalah sebagai sarana penyebaran berita tidak benar atau hoaks.
Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Jackson Kumaat prihatin dengan maraknya berita tidak benar dan hoax yang saat ini marak. Berita hoaks dan tidak benar saat ini semakin meraja rela.
Bahkan berita tidak benar dan hoaks ini sudah mengarah kepada disintegrasi negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI), isu suku, agama, ras dan antargolongan (SARA).
“Saat ini banyak penjajah asing di dunia digital di Indonesia. Contohnya Facebook, Twitter, Instagram dan Youtube. OTT asing yang beroperasi di Indonesia tidak dibuatkan aturan yang jelas. Mereka sangat bebas melakukan aktivitasnya tanpa tersentuh aturan yang berlaku di Indonesia,” jelasnya.
“Padahal mereka menggeruk keuntungan dari bangsa Indonesia. Mereka menjadikan Indonesia sebagai pangsa pasar yang sangat potensial. OTT asing itu senang dengan Indonesia karena pasarnya yang besar dan tak ada aturan yang mengaturnya,” ungkap Jackson.
Menurut Jakson, seharusnya seluruh OTT asing yang berusaha di Indonesia termasuk OTT asing yang menyediakan layanan media sosial, video streaming dan e-commerce, diharuskan tunduk dan taat kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Termasuk kewajiban mereka tidak turut menyebarkan berita bohong atau hoaks yang berbau SARA dan radikalisme.
“Saat ini pemerintah belum mengatur mengenai keberadaan layanan digital di Indonesia. Sehingga saat ini di banyak media sosial yang berasal dari OTT asing berbau SARA dan radikalisme mengancam persatuan dan kesatuan bangsa,” tegasnya.
“DPP KNPI meminta agar pemerintah segera mengatur secara spesifik tentang tatacara berbisnis di bidang digital di wilayah Indonesia. Tukang pulsa aja diatur, masa OTT asing tidak,” terang Jakson kepada rekan-rekan media, Kamis (4/2).
Selain isu disintegrasi, SARA dan radikalisme, di platform OTT asing juga beredar konten negatif lainnya seperti pornografi dan porno aksi. Meskipun pemerintah sudah memiliki perangkat regulasi seperti Kitab Undang-undang Hukum Pidana, UU ITE dan UU Pornografi namun hingga saat ini pemerintah tetap tak berdaya menindak OTT asing yang berusaha di Indonesia.