Alih-alih membangun Kodim, Yohanis menyarankan pemerintah di Tambrauw sebaiknya lebih fokus bekerja demi kepentingan masyarakat sipil di daerah tersebut. Apalagi, masyarakat sebenarnya lebih membutuhkan perbaikan dan pembangunan berbagai fasilitas umum, bukan justru bangunan Kodim.
“Mendesak Pemerintah Tambrauw untuk lebih memfokuskan kinerja pada pembangunan kesejahteraan pendidikan, kesehatan, ekonomi kerakyatan (mikro), dan akses Jalan, jembatan, listrik dan jaringan komunikasi,” ucap dia lagi.
Dalam perjalanannya, sejak awal wacana pembentukan Kodim 1810 Tambrauw ini mencuat, masyarakat di daerah tersebut telah mengajukan keberatan dan protes. Mereka, ungkap Yohanis, bahkan meminta pemerintah berdialog dengan masyarakat.
Masyarakat, menurutnya, meminta pemerintah untuk memfasilitasi warga Tambrauw menggelar musyawarah adat untuk mengambil keputusan bersama terkait pendapat soal pembangunan Kodim di Tambrauw.
“Namun sampai saat ini Pemerintah Kabupaten Tambrauw tidak pernah berdialog dengan masyarakat dan juga belum ada kesepakatan bersama antar seluruh masyarakat adat Tambrauw tentang pembangunan Kodim,” beber Yohanis lagi.
Lagi pula kata dia, penolakan yang dikeluarkan warga tersebut bukan tanpa alasan. Pembangunan Kodim menurut Yohanis berpotensi membuka kembali luka trauma akibat kekerasan aparat puluhan tahun silam.
“Masyarakat juga masih trauma oleh operasi militer pada masa tahun 1960an -1970an yang dilakukan dengan cara kekerasan,” Yohanis beralasan.
Selain itu untuk saat ini pembangunan Kodim bukanlah prioritas yang harus segera dilakukan. Mengingat, lanjut dia, warga berpendapat bahwa wilayah mereka aman dan damai, tanpa ada ganguan apapun.
“Justru kehadiran dan meningkatnya jumlah aparat keamanan TNI di Tambrauw pada beberapa tahun terakhir, terjadi peningkatan kekerasan dengan korban masyarakat sipil,” tutur dia lagi.
“Sikap penolakan warga ini seharusnya dihormati oleh semua pihak, pemerintah dan TNI,” pungkas Yohanis.
Adapun puluhan organisasi pendukung itu di antaranya Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS), Asia Justice and Rights (AJAR), Imparsial, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Perkumpulan Advokat HAM Papua, Yayasan Tanah Merdeka Palu, ELSAM, YLBHI, WALHI Papua dan berbagai organisasi lain.
Sumber: