JAKARTA — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sering dibuat gerah oleh ulah sejumlah kepala daerah, baik gubernur, wali kota, maupun bupati, yang melakukan praktik rasuah. Pasalnya, lembaga tersebut sering melakukan operasi tangkap tangan (OTT), tapi itu tidak juga memberikan efek jera buat kepala daerah lainnya. Berikut petikan wartawan Media Indonesia Cahya Mulyana dengan Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan, Minggu (20/12), soal Pilkada 2020 dan potensi korupsi kepala daerah terpilih serta pencegahannya.
Bagaimana Anda melihat Pilkada 2020, apakah masih berbiaya tinggi dan diduga ramai sponsor pihak swasta untuk calon kepala daerah?
Perkiraan kami biaya serupa (biaya tinggi), terdapat sponsorship untuk kepala daerah, juga tetap berlaku di pilkada kali ini. Ongkos paling mahal yang dikeluarkan calon kepala daerah untuk membeli rekomendasi dari partai politik, membayar saksi di seluruh TPS, dan serangan fajar. Biaya itu lebih tinggi ketimbang anggaran untuk melakukan kampanye. Serangan fajar dibilang punah itu sangat tidak mungkin.
Sejauh mana korelasi pilkada berbiaya tinggi ini dengan kinerja mereka memimpin daerah serta potensi korupsi lima tahun ke depan?
Korelasi biaya politik pilkada dengan kinerja sangat erat Dampaknya akan menimbulkan roda pemerintahan tidak bekerja optimal untuk mewujudkan kemandirian serta kemajuan daerah. Ini bukan pesimistis, Pilkada 2015, 2016 dan 2018 hampir tidak ada regulasi yang signifi kan. Jadi, kita tidak bisa mengharapkan perubahan berupa kinerja istimewa.
Setelah melihat kondisi ini, apa langkah yang akan dilakukan KPK, khususnya terkait dengan pencegahan rasuah di daerah?
Ke depan KPK akan terus mendorong pencegahan korupsi melalui semua pintu. Pertama melalui perubahan sistem pilkada, kedua kemandirian fi nansial partai politik, dan ketiga keterbukaan pola penganggaran di daerah serta pusat untuk daerah. Ada sistem yang di luar tangan KPK seperti pilkada karena ada UU sendiri. Partai politik sepakat sistem pilkada perlu diperbaiki karena menguras biaya.
Apa tawaran KPK untuk perbaikan sistem pilkada?
KPK dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sudah membuat kajian sistem pilkada yang lebih efektif dan menekan korupsi. Metode pertama dengan asimetris, yakni pemilihan langsung hanya untuk daerah yang tingkat ekonomi, pendidikan, dan mutu demokrasi sudah baik.
Kalau Jakarta, Bandung bisa langsung, tapi kalau Papua dan Maluku yang geografi snya tidak mendukung, bisa lewat perwakilan.
Kedua, sistem pilkada hanya memilih kepala daerah dengan wakil ditentukan setelah calon yang terpilih. Pasalnya, terdapat temuan pemilihan kepala daerah dengan sistem pasangan juga memicu korupsi.
Ketiga, dengan peniadaan pemilihan gubernur. Ini bisa menekan biaya pilkada. Gubernur cukup ditunjuk langsung presiden karena kan fungsinya juga sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat.
Terakhir, pilkada semuanya ditentukan DPR, tapi para kandidatnya diseleksi terlebih dahulu oleh masyarakat melalui panitia seleksi (pansel). Semua opsi itu kita akan bahas secara rinci dengan pemerintah, juga DPR dan partai politik, dalam waktu dekat.
Kenapa korupsi kepala daerah terus berlanjut?
Saya menggolongkan tiga kategori kepala daerah. Golongan pertama kepala daerah berniat korupsi sejak awal itu jumlahnya 5% atau ekstrem kiri, 5% jujur atau ekstrem kanan, dan 90% mereka yang tengah-tengah atau memiliki niat baik. Jadi, kita bilang pencegahan itu bukan untuk 100% kepala daerah, melainkan untuk yang 90% itu karena tidak berniat korupsi sejak awal dan harus diselamatkan. Alasannya 90% kepala daerah tersebut kerap terpaksa korupsi karena utang terhadap sponsor saat pilkada hingga terjebak sistem seperti saat pengurusan dana alokasi khusus (DAK) dari pemerintah pusat. Modusnya tidak jauh dari pengurusan pengadaan, perizinan, dan promosi jabatan. Apa pesan KPK terhadap kepala daerah terpilih? KPK tidak bisa sendiri mencegah korupsi tanpa perubahan sistem dan regulasi. Kita tetap berpesan, kepala daerah terpilih, bangunlah daerah supaya memberikan legacy dan jangan mau dikenang lewat korupsi dan kalau biasa-biasa saja memimpin, buat apa juga pilkada?