Rentetan sengketa lahan milik wanita yang lahir 45 tahun silam itu sungguh memprihatinkan. Sistem peradilan dan penegakkan hukum di Indonesia yang terekspose media belakangan ini banyak menarik perhatian publik. Pasalnya, tidak sedikit oknum Jaksa bahkan Hakim sekalipun terlibat suap. Inilah salah satu penyebab sulitnya masyarakat garis bawah mencari keadilan di Negeri ini. Penegakkan hukum dan dunia peradilan, bagaikan cermin retak.
Kini, ibu dari satu orang anak ini kembali harus berurusan dengan aparat hukum. Pasalnya, Nelda kini harus memenuhi surat panggilan dari Kepolisian Resor Kabupaten Kampar atas laporan dengan dugaan penyerobotan tanah tanpa izin yang terjadi pada hari Selasa tanggal 21 Maret 2017. Pemanggilan tersebut, dilakukan untuk menanggapilaporan yuang dilayangkan Sugijono ke Polres Kampar.
Berdasarkan surat yang diterima redaksi, Nelda dipanggil dengan surat bernomor: B/439/III/RES.1.2/2019/Reskrim dengan prihal untuk dimintai keterangan dan klarifikasi.
Bertemu Kepala Daerah, Hingga Naik Truk Ke Ibu Kota
Nelda Netty terus memperjuangkan haknya. Bahkan, dirinya nekad berupaya menemui orang nomor satu di Provinsi Riau itu. Beliau adalah Syamsuar, seorang Gubernur Riau, yang baru saja dilantik pada tanggal 20 Februari tahun 2019 lalu. Tidak mudah baginya, butuh waktu bermingu-minggu. Menunggu di kantor, hingga harus bermalam di pos jaga rumah sang penguasa di Riau itu.
Pertemuan singkat disubuh hari itu merupakan hal yang istimewa bagi seroang Nelda. Mengapa tidak, seumur hidup baru kali itu dirinya bertemu dan bertamu ke rumah seorang pejabat daerah sekelas gubernur. Nelda hanya seorang rakyat kecil yang telah lama menyandarkan harapan besar untuk memproleh keadilan yang bertahun-tahun dinantikannya.
“Maksud kedatangan saya kemari untuk memohon bantuan hukum dari bapak sebagai kepala daerah.Saya sudah tidak mampu lagi untuk membayar pengacara pak. Sekarang saya tidak punya apa-apa lag. Segala yang saya miliki telah habis terjual untuk memperjuangkan atas tanah yang saat ini satu-satunya yang saya milki.Tanah itu kini berdiri sebuah gubuk tempat saya tinggal dan membesarkan anak pak,” paparnya dalam pertemuan singkat yang tidak memberikan harapan apapun kepada Nelda.
Nyaris tidak ada waktu bagi Nelda, selain seorang korban sekaligus dirinya bagaikan pengacara dadakan yang telah berulang kali membaca setiap lembar dokumen dari setiap putusan pengadilan. Dokumen itu masih tersimpan rapi bahkan, terekam pula kedalam benaknya.
Merasa tidak ada harapan lagi baginya untuk mencari bantuan hukum di Riau dirinya terpaksa harus ke Jakarta. Dengan penuh kekecawaan dan merasa masih ada harapan menjadi cambuk baginya untuk segera melangkahkan kaki ke Ibukota. Meskipun berbekal ongkos seadanya, ia nekad berangkat dengan menumpangi sebuah teruk barang yang di kendarai kerabatnya. Ibu kota harapan baru baginya untuk mencari keadilan.