Rupiah Stagnan Jadi Mata Uang Terbaik Kedua di Asia

Rupiah Stagnan Jadi Mata Uang Terbaik Kedua di Asia
ILUSTRASI

JAKARTA, METROSIDIK.CO.ID — Nilai tukar rupiah stagnan melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Kamis (25/3/2021). Meski stagnan, kinerja rupiah cukup bagus melihat mata uang utama Asia lainnya mayoritas melemah.

 

Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan stagnan di Rp 14.420/US$. Setelahnya, rupiah sempat melemah 0,24% ke Rp 14.455/US$. Namun, setelahnya rupiah perlahan memangkas pelemahan dan berakhir stagnan di Rp 14.420/US$.

Dengan berakhir stagnan, rupiah mampu menjadi yang terbaik kedua di Asia. Hingga pukul 15:04 WIB, rupiah hanya kalah dari peso Filipina yang menguat tipis 0,02%, sementara mata uang lainnya melemah.

Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Asia (dilansir dari cnbcindonesia.com).

Kuatnya dolar AS tidak lepas dari ekspektasi pemulihan ekonomi Negeri Paman Sam di tahun ini.

Ketua bank sentral Amerika Serikat (AS) atau The Fed, Jerome Powell, melakukan rapat kerja dengan Kongres AS dalam 2 hari terakhir. Powell pada kesempatan kali ini menyebut perekonomian AS akan sangat kuat di tahun 2021.

“(Perekonomian AS) akan sangat-sangat kuat pada tahun ini. Kemungkinan besar seperti itu,” tegas Powell menjawab pertanyaan tentang prospek ekonomi Negeri Paman Sam, Rabu (25/3/2021).

Tidak hanya Powell, ada Menteri Keuangan AS Janet Yellen dalam rapat tersebut. Pada Selasa lalu, keduanya kompak percaya stabilitas di sektor finansial AS tetap terjaga setelah perekonomian AS pulih dari kemerosotan akibat pandemi penyakit virus corona (Covid-19).

Pulihnya perekonomian AS bisa menjadi kabar baik sekaligus kabar buruk juga. Kabar baiknya, ketika negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia ini pulih, negara-negara lainnya juga akan terkerek bangkit. Sebab roda bisnis akan berputar lebih cepat, ekspor ke Negeri Paman Sam akan meningkat.

Baca juga  Firli Bahuri Tegaskan KPK Bertindak Sesuai Fakta Hukum

Tetapi kabar buruknya, ada risiko terjadinya capital outflow dari negara-negara emerging market menuju Amerika Serikat.

Seperti diketahui, proses pemulihan ekonomi AS di tahun ini serta kenaikan inflasi membuat yield obligasi (Treasury) AS terus menanjak hingga mencapai level tertinggi sejak Januari 2020.

Artinya, yield Treasury AS kini berada di level pra pandemi, sebelum The Fed membabat habis suku bunganya menjadi 0,25%, dan mengaktifkan kembali program pembelian aset (quantitative easing/QE).

Alhasil, selisih yield Treasury dengan Surat Berharga Negara (SBN) menjadi menyempit, dan terjadi capital outflow di pasar obligasi dalam negeri.

Data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan (Kemenkeu), pada periode 1 sampai 22 Maret kepemilikan asing di obligasi Indonesia sebesar Rp 952,8 triliun, turun sekitar Rp 18,6 triliun dibandingkan posisi akhir Februari lalu.

Data tersebut menunjukkan capital outflow yang cukup besar terjadi di pasar obligasi Indonesia, yang pada akhirnya membuat rupiah kesulitan untuk menguat.

 

 

 

Sumber: 

 

jasa website rumah theme

Pos terkait