Kombinasi Pendidikan
Kombinasi pendidikan formal dan nonformal terhadap orang rimba adalah upaya memastikan menyesuaikan pendidikan dengan kebudayaan dan mobilitas orang rimba. Melalui pendidikan nonformal, orang rimba tetap mendapatkan pengajaran ketika harus ikut orang tuanya melangun (berpindah-pindah).
Selain karena melangun, orang rimba juga berpindah-pindah disebabkan mencari sumber penghidupan. Keterbatasan sumber penghasilan dan pendapatan mau tidak mau membuat orang rimba ke tempat lain.
Ketika hutan hilang maka sumber makanan juga hilang. Sebagian orang tua masih mencoba berburu dan meramu, sebagian lainnya terpaksa mencari “brondolan” sawit untuk dijual dan dibelikan bahan pangan.
Dengan kondisi ini pendapatan orang rimba menjadi tidak menentu kadang mereka bisa dapat hasil terkadang juga tidak berhasil. Dengan kondisi ini belajar pun ikut terganggu dimana hal ini menyebabkan pendidikan formal saja tidak cukup untuk orang rimba.
Meskipun demikian, tetua adat orang rimba kini memandang pendidikan sebagai kebutuhan. Dengan ketidakpastian sumber kehidupan menjadikan SAD yang kehilangan hutan ini juga kesulitan untuk melanjutkan hidup mereka. Mau tidak mau mereka harus menyesuaikan diri dengan laju zaman dengan bekal pendidikan dan pengembangan “soft skill” yang menjadi tumpuan.
“Kami harop ko, bebudak harus bersekolah supaya anak anak kami tidak seperti kami orang tuanya dan kami harop bebudak nantinyo bekerja dengan pena (dapat pekerjaan yang lebih baik),” kata Tungganai Besemen.
Tungganai adalah orang yang dituakan di adat SAD Jambi.
Sementara itu, di Komunitas Orang Rimba di Terab, Kecamatan Bathin XXIV Kabupaten Batanghari Jambi, kesadaran akan pendidikan makin meningkat.
Para “rerayo” dan penghulu memahami bahwa saat ini, pendidikan adalah salah satu modal utama untuk dapat beradaptasi dan bersaing dengan masyarakat umum. Jenis pekerjaan baru sebagai penyadap karet juga menuntut mereka agar mampu melek huruf dan hitung-hitungan agar dapat berjual beli secara setara dan adil.
Sebelumnya, SAD atau orang rimba di kawasan Desa Terap masih menolak pendidikan karena menurut mereka pendidikan akan meruntuhkan kepercayaan kepada nenek moyang atau “merubuh halom” dalam bahasa rimba.
Hingga 2008, SAD atau orang rimba di Terap mulai mau menerima pendidikan dan sejak tahun 2021 juga mulai ikut sekolah formal.
Orang Rrmba juga baru-baru ini melalui kerja sama PKBM Bunga Kembang dan Kemendikbudristekdikti mendapatkan pelatihan membuat kerajinan dari bahan rotan.
Pelatihan keterampilan ini sebagai bekal mereka untuk pemenuhan kebutuhan dan meningkatkan ekonomi mereka. Sebab menjual langsung Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) hanya menghasilkan nilai yang kecil. Akan lebih baik, bila orang rimba mampu menjual hasil hutan yang telah diolah agar mendapatkan nilai ekonomi yang lebih tinggi.