METROSIDIK.CO.ID — Ola Ashkantana (30), penduduk Kota Gaza, menyeka air matanya saat berdiri di depan seorang psikolog dari organisasi lokal.
Ia hanya terpaku pada foto saudara perempuannya dan empat anaknya yang tewas dalam serangan Israel di Gaza.
“Saya harap kami akan menemukan mereka hidup,” kata Ola, dikutip dari AFP, Minggu (13/6/2021).
Ola adalah salah satu dari banyak warga Gaza yang kehilangan anggota keluarga karena serangan 11 hari Israel bulan lalu.
Kementerian Kesehatan menyebutkan, 66 anak-anak dan remaja Palestina tewas akibat serangan itu.
Salah satu serangan menghancurkan distrik Al-Rimal di Kota Gaza dan menghancurkan bangunan tempat Abeer, saudara perempuan Ola, tinggal bersama keluarganya.
Sepuluh jam setelah serangan, tim penyelamat secara ajaib menarik suami Abeer, Riad dan putri mereka yang berusia delapan tahun, Suzy dari puing-puing.
Akan tetapi, Abeer dan empat anak lainnya tidak selamat.
“Saya tidak bisa berhenti memikirkan saudara perempuan saya dan anak-anaknya, yang mungkin telah hidup berjam-jam di bawah reruntuhan,” kata Ola.
“Saya shock, sekarang saya takut kehilangan anak saya sendiri,” lanjut dia.
Di kamar sebelah, Riad sedang memeluk Suzy, saat seorang dokter kesehatan mental mendorongnya untuk mencoba psikoterapi.
“Saya tercekik. Saya bahkan berpikir untuk tinggal bersama mereka di kuburan,” kata Riad.
“Saya trauma. Bagaimana perasaan dan pikiran saya akan berubah? Saya tidak akan pernah lagi menjadi diri saya yang dulu,” ujar dia.
Ola dan Riad tidak sendirian.
Serangan Israel atas Gaza bulan lalu menyebabkan sekitar 1.000 apartemen, kantor, dan bisnis hancur.
Beberapa psikiater dan psikolog di daerah itu tahu bahwa pembangunan kembali harus jauh melampaui rekonstruksi fisik.
“Ini bukan pertama kalinya kami mengalami perang di Gaza. Kami harus mengatasi banyak trauma,” kata dokter spesialis kesehatan mental, Hassan al-Khawaja.
“Saya memperkirakan krisis PTSD dalam beberapa bulan mendatang. Dengan setiap trauma dan perang baru, banyak warga Gaza menghadapi kekambuhan dan gangguan stres akut, dengan gejala termasuk syok dan penyangkalan,” lanjut dia.
Jika stres tersebut tidak ditangani dengan cepat, dapat berkembang menjadi PTSD.
Artinya, pekerjaan tim perawatan kesehatan mental sangat penting dalam beberapa bulan mendatang untuk mencegah ledakan kasus.