JAKARTA, METROSIDIK.CO.ID — Calon hakim agung kamar pidana, Subiharta, tidak sependapat jika pelaku korupsi dijatuhi hukuman mati. Ia berpandangan, hukuman mati tidak menyelesaikan masalah korupsi di Indonesia.
Menurut dia, pengembalian aset negara yang dikorupsi lebih penting ketimbang penerapan hukuman mati terhadap koruptor.
“Justru dengan dijatuhi hukuman mati, maka informasi yang berkaitan dengan aset yang dikorupsi dan berbagai informasi tentang tindak pidana yang dilakukan menjadi tertutup. Harta yang dikorupsi belum tentu terselamatkan,” kata Subiharta, dalam uji kelayakan dan kepatutan calon hakim agung, di Komisi III DPR, Jakarta, Senin (20/9/2021) malam.
Subiharta menyatakan setuju jika hukuman pidana maksimal terhadap koruptor berupa penjara seumur hidup.
Ia menilai, hukuman penjara seumur hidup akan membuat koruptor merasa menjalani masa hukumannya yang panjang.
“Masyarakat juga akan memperhatikan bahwa hak hidup dari manusia masih tetap dihormati oleh negara. Sekaligus, aset-aset negara masih tetap bisa diperjuangkan dan terselamatkan, sehingga negara tidak dirugikan,” kata dia.
Adapun hal tersebut diungkapkan dalam makalah yang ia buat terkait uji kelayakan dan kepatutan calon hakim agung. Makalah tersebut berjudul Perspektif Vonis Pidana Mati bagi Pelaku Tindak Pidana Korupsi di Indonesia.
Subiharta menyadari adanya perbedaan pandangan terkait vonis hukuman mati terhadap koruptor di Indonesia.
Di satu sisi ada kelompok yang setuju dengan pidana mati karena pelaku telah melakukan kejahatan yang berat, yaitu melanggar hak asasi manusia.
Sedangkan, ada pula kelompok yang tidak setuju dengan vonis mati karena melanggarhak asasi manusia.