Anambas, Metrosidik – Jauh sebelum pemerintah pusat mengambil alih beberapa kewenangan perizinan investasi, PT. Pulau Bawah sudah memiliki perizinan dasar yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah (Pemda) Kepulauan Anambas dan Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau (Kepri). Hal ini disampaikan Yoki Ismed, Analis Kebijakan Ahli Madya di Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kabupaten Kepulauan Anambas.
Yoki bercerita jauh kebelakang soal perizinan- perizinan sebelum mengalami banyak perubahan dan regulasi dari tingkat kabupaten, provinsi dan pemerintah pusat. Ia menjelaskan tahap demi tahap proses perizinan PT Pulau Bawah hingga akhirnya disegel Direktur Jenderal PSDKP, Laksamana Muda TNI Adin Nurawaluddin pada Jumat, 10/3/2023 lalu.
Yoki menyebut, sebelum dokumen Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR) diberlakukan, ada tahap-tahap yang harus dipersiapkan. “Dulu sebelum KKPR, KKPR kan ada dua, darat sama laut. Jadi sebelum Mazhab KKPR, dulukan mazhabnya izin lokasi. Sebelum terbitnya izin lokasi ada dua rekomendasi yang harus dapat. TKPRD, setelah dapat TKPRD dia kan dapat luas lahan nih. Nah untuk dia membangun dia harus ada KRK, baru izin lokasi, dulu. Dia (PT Pulau Bawah-red) sudah dapat itu,” sebut Yoki Ismed, Analis Kebijakan Ahli Madya ini. Senin, 13/3/23
Sebenarnya, kata Yoki, perizinan dasar PT Pulau Bawah sudah lengkap sebelum ada beberapa perubahan regulasi terkait perizinan dan kewenangan pemerintah Kabupaten. “Untuk isu-isu pemanfaatan ruang laut itu dulu kita tidak mengenal. Sepengetahuan kami, PT. Pulau Bawah untuk di darat waktu kewenangan daerah sudah selesai perizinan dasarnya,” katanya.
Dikatakan Yoki, DPMPTSP Anambas baru terbentuk pada tahun 2017 dan tidak memiliki arsip data perizinan PT.Pulau Bawah yang sudah terbit di saat perizinan yang kewenangannya masih di daerah.
“PTSP kan 2017, SOP kami kan pelayanan perizinan nah untuk sinkronisasi data bagus ideal. Cuma sepengetahuan saya sinkronisasi data tidak ada (PTSP 2017-red), tetapi ada beberapa data seperti SIUP, IMB kami sudah sinkrokan, namun memang banyak data yang lose pada mereka (pengusaha-red). Misalnya, data di kita tidak ada di mereka juga gak ada atau hilang,” ungkap Yoki.
Terkait PT.Pulau Bawah disegel, Yoki menyampaikan saat ini mereka hanya bersifat konsultasi saja di daerah, sedangkan untuk menerbitkan perizinan sekarang hanya ada di Provinsi dan Pusat. “Untuk lima pelanggaran yang baru baru ini terjadi mereka mengakui ke saya kalau lalai dan siap mematuhi. Tetapi itu sudah bukan kewenangan kami lagi, untuk tracking permohonan saja kami tidak ketemu kalau dokumennya sudah jadi barulah ketemu di sistem OSS kami,” tutup Yoki.
Hal senada juga disampaikan, Harmini, Kepala Seksi (Kasi) Perencanaan dan Pemanfaatan Ruang Dinas Perkerjaan Umum Perumahan Rakyat (DPUPRPR) Kabupaten Kepulauan Anambas (KKA) soal TKPRD menjadi dasar perizinan PT. Pulau Bawah. “Perizinan dasar itu adalah terkait tata ruang sesuai ndak, itu dulu TKPRD,” sebut dia, Senin(13/03/2023).
Harmini mengatakan, ada beberapa perubahan perizinan seperti izin lokasi yang sudah menjadi satu dengan KKPR. “Dulu ada namanya KRK (Kerangka Rencana Kabupaten). Itu memuat izin tapak segala macam. Dulu kita mengenal izin tapak, sekarang kita tak mengenal lagi, jadi satu sekarang di OSS,” jelasnya.
Untuk proses izin lokasi ketika itu, Harmini juga kurang mengetahui. “Kalau dulu proses perizinannya saya kurang tahu. Karena pelepasan, pelepasan kawasan kemungkinan di pusat. Karena mereka (Pulau Bawah-red) awalnya dulu kalau gak salah kawasan hutan, izin pelepasan kawasan,” terang Harmini.
Sementara, Kepala Bidang (Kabid) penataan penaatan dan peningkatan kapasitas Dishub-LH Anambas, Yulifrizal menjelaskan Amdal lingkungan PT.Pulau Bawah sudah terbit lama sebelum adanya kewenangan pusat.
“KA Andal PT.Pulau Bawah ada, SK Gubernur Kepri nomor 450 tahun 2016 tentang kelayakan lingkungan dan SK Bupati Kepulauan Anambas nomor 155 tahun 2014 tentang izin lingkungan mereka juga sudah ada sehingga terbitlah amdal lingkungan PT.Pulau Bawah,” jelasnya.
Seiring berjalan waktu, Yulifrizal mengatakan Amdal lingkungan sudah ada beberapa kali adendum. Selain itu, tiga tahun belakangan ini PT.Pulau Bawah baru mengurus limbah B3 nya.
“Izin pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun untuk kegiatan tempat penyimpanan sementara limbah bahan berbahaya dan beracun PT Pulau Bawah itu sudah ada juga,” tutupnya.
Penghentian berusaha sementara PT. Pulau Bawah yang dilakukan Ditjen PSDKP mendapat perhatian Johari, SH. M.Si, tokoh kelahiran Jemaja, Kabupaten Kepulauan Anambas.
“Heboh berita tentang ditutup sementara kegiatan PT pulau bawah, Anambas disebabkan belum mengantongi beberapa perizinan, diantaranya PKKPRL, maka perlu juga kita cermati tentang tatacara pengelolaan pulau pulau kecil sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Saya pernah berkunjung ke pulau bawah pada tahun 2018 bersama dengan tim pak Suhajar Diantoro, terkait pengelolaan daerah perbatasan, berkaitan dengan isu akses masyarakat nelayan Anambas yang dilarang berteduh ketika musim kencang di Pulau Bawah. Solusi yang disepakati pada saat itu adalah dibuat tambatan perahu di daerah pulau bawah. Kala itu terjadi pula heboh nasional akibat ditutupnya akses anggota dewan dan masyarakat oleh investor asing di Pulau Nias,” terang Johari, SH. M.Si yang merupakan Notaris dan PPAT di Batam.
Johari juga memaparkan beberapa perubahan peraturan dan perundang-undangan terkait perizinan pengelolaan pulau-pulau kecil dan ruang laut.
“UU 27/2007 -UU 1/2014 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang luasnya dibawah 2000 km2. Prinsipnya: keberlanjutan, konsistensi, keterpaduan, kepastian hukum, kemitraan, pemerataan, peran serta masyarakat, keterbukaan, desentralisasi, akuntabilitas dan keadilan. Pasal 16 (1) UU 1/2014: setiap kegiatan pemanfaatan ruang perairan pesisir atau pulau-pulau kecil wajib mengantongi izin lokasi. Hak pengusahaan perairan pesisir atau yang dikenal dengan (HP 3) dapat diberikan kepada pengelola selama 20 tahun, meliputi pengelolaan permukaan laut kolom air dan permukaan dasar laut (PKKPRL). Kesemuanya harus mengacu dan sesuai dengan RPWP3K (Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil). Berdasarkan pasal 9 peraturan menteri negara agraria kepala BPN nomor 17 tahun 2016 tentang penataan pertanahan untuk diberikan hak atas wilayah pesisir pulau-pulau kecil dengan ketentuan:
a. Maksimal 70% (termasuk fasos da fasum) luas tanah dari luas pulau mengacu dan sesuai dengan tata ruang kabupaten provinsi setempat;
b. Sedangkan 30% dari luas lokasi harus dicadangkan dan dikuasai langsung oleh negara dengan peruntukan untuk hutan negara atau hutan lindung. Inilah yang terindikasi kerap diabaikan oleh pengelola. Seluruh pulau dikuasai tanpa ada pencadangan keperluan tersebut.” Kata eks Ketua PENGWIL IPPAT RIAU 2015-2018 dan KORWIL Sumatra PP IPPAT 2015-2018 ini.
Johari juga mempertanyakan upaya PT. Pulau Bawah dalam melengkapi dokumen perizinan. “Terkait dengan apa yang telah diterangkan di atas tentu saja timbul pertanyaan kita, apakah resort pulau bawah, Kabupaten Kepulauan Anambas dan pulau-pulau kecil lainnya telah memenuhi seluruh ketentuan dan perizinan yang telah diatur oleh ketentuan di atas? Jika belum, tentu patut diduga telah terjadi kelalaian dan kecerobohan pengelolanya dan kita berharap tidak akan ada lagi penutupan sementara kegiatan usaha oleh pemerintah sebagai mana terjadi beberapa waktu lalu. Apa lagi terhadap investasi asing di Anambas. Kegiatan usaha seharusnya dapat tetap terus berlangsung secara benar dan optimal, tentu dengan tidak mengabaikan segala perizinan dan ketentuan yang berlaku di wilayah republik Indonesia,” harap putra Jemaja ini.