METROSIDIK.CO.ID — Daerah berstatus zona hijau tetap harus waspada terhadap penularan Covid-19. Sedikit saja masyarakat lalai dalam menjalankan protokol kesehatan memakai masker, mencuci tangan dan menjaga jarak (3M), status atau zona daerah hijau bisa dengan mudah berubah menjadi zona bahaya (merah).
Untuk itu masyarakat perlu didampingi dalam menjalankan protokol kesehatan dan tidak sekadar diberikan banyak informasi.
Ketua Bidang Perubahan Perilaku Satgas Penanganan Covid-19 Sonny Harry B Harmadi mengatakan, tidak ada satupun daerah yang aman 100% dari Covid-19. Menurutnya, pandemi ini berawal dari satu orang hingga sekarang menginfeksi 96,6 juta orang di dunia.
“Jadi dari satu menjadi 96,6 juta karena penularan dari orang ke orang bukan dari binatang ke orang. Kita harus ingatkan seluruh daerah Indonesia yang masuk zona hijau bahwa potensi risiko selama pandemi masih tetap ada,” katanya dalam dialog virtual di Graha BNPB, Jakarta, Rabu (20/1/2021).
Ia menyebut, ketika status pandemi diberlakukan di dunia maka tidak ada satupun tempat di dunia ini terbebas 100% dari Covid-19.
Oleh karenanya pencegahan jauh lebih mudah dan murah dibanding harus mengalami. Selain itu, protokol kesehatan harus diterapkan dan menjadi pengetahuan di seluruh daerah Indonesia termasuk di zona hijau.
Salah satu daerah berzona hijau namun kemudian berubah status adalah Ngada Nusa Tenggara Timur (NTT). Menurut Sonny, pengetahuan masyarakat di daerah ini harus didorong agar lebih memahami risiko penularan jika pencegahan tidak dilakukan.
“Prokes 3M sangat penting dan harus diterapkan semua masyarakat sampai kita yakin pandemi berakhir,” imbuhnya.
Di awal pandemi saat dunia sudah mengalami dan di Indonesia belum terdampak sikap kewaspadaan belum muncul. Namun setelah itu, masyarakat mulai waspada, mobilitas dikurangi, memakai masker, menjaga jarak dan kegiatan sosial juga dibatasi.
Bagian 3M yang sulit dilakukan adalah menjaga jarak, karena sistem kekerabatan di Indonesia. Saat pandemi acara keluarga dan kumpul sosial perlu dihindari. Saat kasus masih sedikit, hal ini perlu dihindari dan Ngada bisa menjadi contoh untuk Indonesia.
Sonny menjelaskan, survei Badan Pusat Statistik menyebut, penerapan 3M yang rendah karena orang yakin di sekelilingnya tidak ada kasus maka bebas tidak terapkan 3M. Padahal penyakit ini baru ketahuan atau memiliki virus kalau dites. Namun saat ini banyak orang tanpa gejala.
Sehingga penting memberi pengetahuan penyakit ini menular dari orang ke orang lewat droplet, aerosol. Oleh sebab itu perlu memproteksi diri dengan masker dan melindungi mata.
Ia menambahkan, lebih dari 64.000 duta perubahan perilaku sudah mengedukasi 46,7 juta orang di Indonesia. Di Banyuwangi upaya ini menggandeng personil puskesmas sebagai duta perubahan perilaku. Dalam sosialisasi 3M dilakukan dalam 78 bahasa daerah.
Perubahan perilaku lanjutnya, memang bukan sesuatu yang mudah, instan tapi hal ini perlu dilakukan untuk bisa mengendalikan suatu daerah tetap di zona hijau. Selain 3M, testing tracing dan treatment serta vaksinasi juga harus diperkuat.
Ketua Tim Perubahan Perilaku Komunitas Universitas Indonesia Hadi Pratomo mengungkapkan, sejak di zona hijau, sikap dan kepatuhan masyarakat terhadap 3M perlu dipersiapkan.
“Mereka harus diberi pendekatan partisipatif agar mau bergerak berpartisipasi. Sebab virus itu kasat mata, tidak terlihat sehingga perlu didampingi untuk tahu bahayanya. Apalagi perubahan perilaku butuh waktu,” tuturnya.
Saat ini di tengah pandemi, masyarakat ibarat geger budaya dihadapkan virus yang tidak terlihat. Untuk memberi keyakinan masyarakat untuk berubah dan patuh prokes, pemimpin harus menjadi contoh dengan displin menjalankan prokes. Masyarakat juga harus didampingi, tidak hanya beri sebanyak mungkin informasi.
Sumber: