Press Release-Jakarta, Akibat campur tangan pemerintah dalam tubuh Dewan Pers, mengakibatkan Rekomendasi yang dikeluarkan dewan pers telah mengkriminalisasi jurnalis, bahkan telah merenggut nyawa seorang wartawan bernama Muhamad Yusuf (42) di Kotabaru, Kalimantan Selatan pada tanggal 10 Juni 2018, menjelang Hari Raya Idul Fitri.
Adapun campur tangan pemerintah yang dimaksud adalah dengan cara menempatkan 20 orang Pegawai Negeri Sipil /ASN unit pengelola teknis (UPT) di Sekretariat Dewan Pers yang berkantor di lantai 8 gedung dewan pers.
Dari 20 PNS tersebut, salah satu bagian yang memegang peran penting memberikan rekomendasi Pencabut nyawa wartawan adalah Kasubag/ Kabag Pengaduan dan Etika Hukum. Jabatan tersebut diisi oleh PNS Kemenkominfo yang ditempatkan mendampingi Anggota Dewan Pers. (mirip dengan penempatan Sekjen Dewan/ Sekretaris Dewan dan Stafnya pada Lembaga DPR RI dan DPRD).
Permasalahan kemudian muncul, ketika Dewan Pers menerima pengaduan masyarakat/swasta/pemda, sebelum Rekomendasi pencabut nyawa di keluarkan oleh Dewan Pers, terlebih dahulu dikaji oleh bagian pengaduan dan etika hukum.
Kemudian bersama salah seorang anggota Dewan Pers yang menangani bidang Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etika Pers mereka melakukan upaya mediasi antara pengadu dan teradu. Pada tahap inilah terjadi ketidak adilan dan upaya kriminalisasi yang dilakukan oleh ASN dan Dewan Pers dengan dalih bermacam-macam.
Kriminalisasi pers oleh Dewan Pers yang ditandai dengan mengeluarkan rekomendasi kepada aparat kepolisian, yang menyatakan bahwa wartawan tersebut bukan wartawan karena belum mengikuti UKW. Karya tulis wartawan dikategorikan bukan produk jurnalistik, Dll.
Akhirnya berdasarkan kajian hukum oleh oknum PNS/ ASN dikeluarkanlah rekomendasi pencabut nyawa bagi wartawan bernama Muh.Yusuf, yang akhirnya tewas di dalam penjara.
Sementara itu Sabam Leo Batubara, Mantan Anggota Dewan Pers Periode 2006-2009, juga ikut berperan atas tewasnya M.Yusuf. Leo Batubara sebagai ahli yang digunakan oleh Kabag /Kasubag Pengaduan Etika Hukum (ASN) dan Anggota Dewan Pers yang membidangi Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etika Pers, memberikan rekomendasi yang berakibat M.Yusuf ditahan aparat Kepolisian dan akhirnya tewas dipenjara.
M.Yusuf salah seorang yang tewas akibat ulah dan campur tangan pemerintah melalui kepanjangan tangannya yang disusupkan ke tubuh Dewan Pers. Sementara Dewan Pers Independen yang dicita-citakan oleh Jurnalis Reformasi sudah melenceng jauh. Bahkan lebih kejam dari Anggota Dewan Pers sebelum Reformasi.
Mereka telah melakukan dosa kemanusiaan, tapi seolah-olah tidak berbuat salah. Faktanya ada ratusan kasus kriminalisasi pers, hingga berujung kematian dan Dewan Pers telah ikut andil terlibat didalamnya.
Dahulu pemerintah orde baru bisa mengontrol pers melalui Dewan Pers. Jika pemerintah tidak suka dengan Tulisan Wartawan / media yang mengkritik pemerintah maka dilakukan pembredelan/ penutupan ijin usaha penerbitan pers.
Sementara Dewan Pers 2016-2019 dibawah kepemimpinan Yosef ini lebih kejam dan keji dari Dewan Pers jaman Orba, akibat rekomendasinya menyebabkan seorang jurnalis harus meregang nyawa dalam penjara dan meninggalkan duka yang mendalam bagi pekerja pers. Terutama bagi anak yang harus kehilangan ayah, dan istri yang harus menjadi janda, menanggung beban hidup agar bisa menghidupi anak-anaknya.
Sungguh ironis menyandang istri seorang jurnalis, dimana suaminya yang begitu rela membela kepentingan masyarakat dari kesewenang-wenangan pengusaha melalui buah karya tulisan, akhirnya harus menjadi janda.
Kesimpulannya adalah Dewan Pers sudah tidak Independen. Campur tangan pemerintah dengan menempatkan Kabag dan Kasubag Pengaduan dan Etika Hukum yang menentukan keluarnya Rekomendasi Dewan Pers, telah ikut andil menjadi pemasung dan pembunuh jurnalis yang sesungguhnya.
Penulis : Lemens Kodongan, Tokoh Pers Reformasi.