Pernyataan Lino pun memantik reaksi hingga bergulirnya revisi UU KPK. Salah satunya mengenai kewenangan KPK menerbitkan SP3 yang salah satunya dipicu status Lino yang bertahun-tahun tanpa kejelasan.
“Beberapa penjabat di media mencontoh ke tidakjelasan status sebagai tesangka KPK yang sudah bertahun-tahun misalnya RJ Lino dimana tanpa ada kejelasan sampai kapan status itu akan diembannya,” ungkapnya.
Diketahui, jaksa penuntut KPK menuntut agar majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan hukuman 6 tahun pidana penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan terhadap RJ Lino. Jaksa meyakini RJ Lino terbukti secara sah melakukan tindak pidana korupsi dalam pengadaan tiga unit QCC di PT Pelindo II tahun 2011 yang merugikan keuangan negara sebesar US$ 1,99 juta.
Dalam menuntut RJ Lino, jaksa KPK mempertimbangkan sejumlah hal. Untuk hal yang memberatkan, RJ Lino dinilai tidak mendukung pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi. Selain itu, jaksa menilai RJ Lino telah mendapat keuntungan atas kasus tersebut dan berbelit-belit.
Sementara untuk hal yang meringankan, RJ Lino belum pernah menjalani proses hukum.
Jaksa KPK meyakini RJ Lino melakukan tindak pidana korupsi terkait pengadaan tiga unit QCC di PT Pelindo II tahun 2010. Perbuatan Lino itu menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi, yakni Wuxi Hua Dong Heavy Machinery Science and Technology Group Co. Ltd (HDHM) dan merugikan keuangan negara atau Pelindo II sebesar US$ 1,99 juta.
Jaksa menyatakan, tindak pidana korupsi itu dilakukan RJ Lino dengan cara mengintervensi proses pengadaan tiga unit QCC dengan menunjuk HDHM sebagai perusahaan pelaksana proyek. Tindak pidana korupsi itu dilakukan RJ Lino bersama dengan Ferialdy Norlan selaku Direktur Operasi dan Teknik PT Pelindo II dan Chariman HDHM, Weng Yaogen.