METROSIDIK.CO.ID, MAKASSAR — Kontraktor Agung Sucipto didakwa menyuap Gubernur Sulawesi Selatan (Sulsel) nonaktif Nurdin Abdullah sebesar 150 dolar Singapura serta Rp 2 miliar. Pemberian suap dilakukan pada tempat berbeda, yakni di rumah jabatan (rujab) gubernur dan melalui Edy Rahmat.
“Jadi 150 dolar Singapura itu pemberian suap pertama di Rujab Gubernur, kemudian yang kedua Rp 2 miliar itu yang operasi tangkap tangan dilakukan oleh KPK,” kata jaksa penuntut umum KPK Muhammad Asri Irwan dalam dakwaannya di Pengadilan Negeri (PN) Tipikor Makassar, Selasa (18/5) 2021).
Agung Sucipto didakwa pasal berlapis, di antaranya Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHPidana jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.
Agung Sucipto juga didakwa melanggar Pasal 13 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHPidana jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.
Dalam dakwaan jaksa juga terungkap sejumlah barang bukti dari kasus suap ke Gubernur Sulsel nonaktif Nurdin Abdullah. Beberapa di antaranya sejumlah berkas proposal dan berbagai surat keputusan gubernur terkait sejumlah proyek infrastruktur yang ditangani Agung Sucipto.
KPK juga mengungkap bukti aliran dana Rp 70 juta ke Gubernur Nurdin melalui rekening istrinya, Lestiaty Fachruddin. Aliran dana itu terekam dalam 2 halaman aplikasi setoran transfer /kliring/inkaso Bank Mandiri pada 12 Juni 2019.
Selain itu, aliran dana suap diduga dilarikan ke aset bangunan. Hal ini berdasarkan sitaan sebuah amplop cokelat berisi nota pembayaran aset pembangunan Victoria River Parkir A3/3 + A5/6 BSD, Tangerang Selatan. Pembayaran aset ini dilakukan pada Oktober 2018 untuk progres pembangunan 30 persen dan pembayaran pada Februari 2019 untuk progres pembangunan 70 persen.
“Pemilik Bapak Nurdin Abdullah,” ujar jaksa dalam pengungkapan daftar barang bukti.
KPK juga mengungkap barang bukti sebuah koper bertuliskan ‘POLOLOVE’ yang di dalamnya berisi uang pecahan Rp 100 ribu sebanyak 20 ribu lembar.
“Dengan total nominal Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah),” ungkap jaksa.