JAKARTA — Kementerian Perdagangan menyatakan kemungkinan harga tempe akan naik di pasar dalam negeri pada pekan depan. Hal ini merupakan imbas dari kenaikan harga kedelai yang merupakan bahan baku tahu dan tempe.
Sekretaris Jenderal Kementerian Perdagangan Suhanto mengatakan kenaikan terjadi karena harga kedelai impor meningkat dari kisaran Rp9.000 menjadi Rp9.300 sampai Rp9.600 per kilogram pada saat ini.
“Ada kemungkinan penyesuaian harga karena pembelian kedelai oleh perajin tahu tempe ke importir sudah ada kenaikan, kasihan juga kalau mereka tidak naikkan, nanti merugi,” kata Suhanto kepada CNNIndonesia.com, Sabtu (2/1).
Kendati begitu, ia belum bisa memperkirakan berapa besar kemungkinan kenaikan harga tahu dan tempe nanti. Namun, ia memberi gambaran bahwa kenaikan harga kedelai impor saat ini sekitar 3,3 persen dari harga normal.
Sementara bahan baku kedelai merupakan komponen yang menyumbang sekitar 70 persen dari biaya produksi tahu dan tempe. Sisanya, merupakan biaya produksi lain, seperti tenaga kerja hingga pengemasan.
“Apakah nanti kenaikannya akan linier juga 3,3 persen atau tidak, atau bahkan 5 persen, itu saya belum tahu. Tapi saya sudah pesan ke mereka (perajin tahu tempe) agar jangan terlalu tinggi kenaikannya, yang penting tetap ada untung, tapi jangan membebani masyarakat juga,” tuturnya.
Lebih lanjut, Suhanto mengatakan kemungkinan kenaikan harga tahu dan tempe ini merupakan hasil laporan dari para perajin tahu dan tempe yang tergabung dalam Gabungan Koperasi Tempe dan Tahu Indonesia (Gakoptindo).
Ini juga merupakan jalan keluar sementara dari aksi mogok produksi yang dilakukan para perajin tahu dan tempe.
“Kemarin kan mereka berencana berhenti produksi, tapi kemudian sudah kami koordinasikan, sehingga mereka sudah mulai ambil lagi, beli kedelai (impor) dan mereka akan produksi lagi dalam 3-4 hari ini, jadi insya Allah stok tahu tempe per 4 Januari, Senin besok, sudah normal lagi, meski mungkin ada kenaikan,” ujarnya.
Bersamaan dengan kemungkinan kenaikan harga tahu dan tempe di pasar, Suhanto meminta masyarakat agar bisa memaklumi kemungkinan tersebut.
Kemendag sendiri akan menggelar sosialisasi mengenai kemungkinan ini.
“Harap masyarakat bisa memaklumi, karena kami tidak mungkin menggantikan kebutuhan kedelai yang memang minim di dalam negeri,” tuturnya.
Di sisi lain, Suhanto menuturkan kementeriannya terus bekerja sama dengan Kementerian Pertanian serta Kementerian Koperasi dan UKM untuk mencari jalan keluar dari masalah tingginya harga kedelai di pasar internasional.
Saat ini, katanya, Kemenkop sudah berkomunikasi dengan para perajin agar tetap mau melanjutkan produksi.
Sementara dari Kementerian Pertanian akan berusaha meningkatkan produktivitas produksi kedelai di dalam negeri. Sebab, saat ini, produksi di dalam negeri hanya berkontribusi sekitar 30 persen dari total kebutuhan.
Sisanya, ditutup dari impor. “Dari Kementan mereka lagi kejar agar produktivitas dan kualitas meningkat. Kami juga terus koordinasi di lapangan,” ucapnya.
Menurut Suhanto, kenaikan harga kedelai impor saat ini terjadi karena permintaan dari China meningkat dua kali lipat, yakni dari sekitar 15 juta ton menjadi 30 juta ton pada Desember 2020. Hal ini membuat harga kedelai di pasar internasional meningkat dari US$11,92 menjadi US$12,95 per busel.
“China membeli sampai dua kali lipat. Ini membuat harga naik sekitar 9 persen,” kata dia.
Sumber: