Dajjal di Panggung Politik

Ilustrasi. (Foto : happynature.wordpress.com)

KITA– sering terkecoh mengenal Dajjal (Setan) yang akan turun diakhir zaman menggoda manusia untuk patuh dan tunduk pada dirinya. Bahkan, Dajjal meminta dirinya diakui sebagai tuhan maha pencipta semesta alam. Dajjal sudah lama bersemaian dilingkungan kita, mengiming- imingi sesuatu, menuhankan uang untuk segalanya, merupakan salah satu sifat Dajjal.

Tak pelak pula pada pelaku praktek money politik, yang menjanjikan kesejahteraan, mengabulkan permintaan sesaat, dengan tujuan menipu rakyat agar dirinya dipuja hingga dapat bertahta di singgasana kekuasaan, ialah manusia yang diumpamakan “Dajjal.”

Momentum perubahan tatanan sistem pemerintahan tak lama lagi akan tiba. Pemilhan Umum (Pemilu) Presiden dan Wakil Presiden serta pemilihan serentak anggota Legislatif (Pileg) baik tingkat pusat dan daerah akan segera digelar, tepatnya bulan April tahun 2019 mendatang. Saat itulah, rakyat akan diuji kecintaannya kepada sang Ibu Pertiwi, di mana para pelaku paraktek money politik yang haus kekuasaan akan melakukan segala cara, baik menggoda, membujuk, mengumbarkan segala janji. Bila bujuk rayu itu termakan oleh rakyat, alamat negeri ini dalam kehancuran. Hanya orang tak beriman, tergoda dengan bujuk rayunya sehingga menjual hak suara kepadanya sebagai pengantar dirinya ke puncak kekuasaan.

Trik, intrik politik “Dajjal” sungguh luar biasa, bahkan ia mampu membalikkan fakta. Jika tak ada yang sanggup melawan, ia akan ciptakan lawan dalam politik sebagai dasar memenuhi sayarat konstitusi. Menjadikan mahluk tuhan sebagai boneka, hanya untuk memenuhi birahi kekuasaan belaka.

Berpose dihadapan media, dan menyapa masyarakat bak malaikat turun memberikan kesejukan kepada siapa saja, sesungguhnya itu tipuan belaka yang disulap sedemikian rupa. Berkedok agama, didukung kekuasaan, mengahalalkan segala cara, menjadikan dirinya semakin leluasa menipu rakyat. Bahkan, ia sanggup menjual bangsa tanpa rasa bersalah. Adab tidak lagi hal tabu bagi mereka, asalkan ia dan kelompoknya dapat hidup dalam kegelimpangan kemewahan dunia yang dirampas dari setiap tetes darah dan keringat rakyatnya.

Baca juga  Natuna-Anambas: Harapan Baru atau Cermin Lama Pemekaran Daerah?

Sungguh memilukan, di mana bangsa ini sedang ditekan krisis global, hutang negara semakin membengkak, lapangan pekerjaan menjadi rebutan. Hampir setiap pagi pula kita disuguhkan oleh pemberitaan yang menyatakan, hari ini ada oknum pejabat negara yang tertangkap tangan (OTT), atau Oknum pejabat tertangkap berbuat asusila. Tontonan itu seakan menjadi hidangan sarapan pagi, terkadang dalam hati menggelitik sambil mengelengkan kepala bertanya, tak malukah pada Ibu Pertiwi ?.

Perbuatan korupsi politik di Indonesia sudah sampai pada puncak klimaksnya. Berdasarkan data yang dirilis KPK, dari 439 pelaku korupsi yang ditangani KPK sejak tahun 2004 hingga sekarang, paling banyak adalah yang menduduki jabatan politik, yakni 149 orang. Mereka adalah menteri, gubernur, wali kota, bupati, dan anggota DPR/DPRD.

Motif korupsinya pun beragam, selain memperkaya diri sendiri, motif korupsi politik dengan memperluas dan melanggengkan kekuasaan. Para oknum pejabat politik berlomba mengumpulkan pundi-pundi untuk digunakan sebagai money politik dalam ajang pemilu dan pilkada. Mereka dengan culas memanfaatkan kemiskinan rakyat untuk membeli suara. Mereka tak mau bersusah-payah melakukan kerja politik dan sosial untuk merebut hati rakyat.

Tak heran, menjelang pemilu, banyak uang haram beredar. Menjelang Pemilu 2014, misalnya, transaksi keuangan mencurigakan meningkat dua kali dibandingkan masa normal. Uang kartal atau uang tunai yang beredar di masyarakat pada masa Pemilu 2014 mencapai Rp 400 triliun, lebih tinggi dibandingkan masa normal yang rata-rata Rp 375 triliun.

Selain pelaku praktek money politik, penyelenggara juga tak luput melakukan perbuatan pelanggaran kode etik pemilu, seperti gratifikasi, suap, pelanggaran administratif dan penggelembungan suara. Maraknya pelanggaran pada pemilu kali ini tentu akan mempengaruhi kualitas Pilpres 2019 mendatang.

Baca juga  Kemesraan di Baitul Ma'mur Anambas

Disaat kehidupan masyarakat dihadapkan persoalan ekonomi tentunya godaan itu semakin sulit dihindari. Akan tetapi, percayalah, jika ikhlas menolak bujuk rayu itu, kita akan dapat mencapai kedamaian dan kesejahteraan yang merata.

Perjuangan saat ini tidak lagi mengorbankan nyawa serta harta benda. Jika kita sepakat menolak money politik, itu merupakan langkah awal menuju perubahan menjadi bangsa yang besar di pangkuan Ibu Pertiwi semakin dekat. Cerdas memilih pemimpin, mengharamkan money politik, menjadi penentu di pemilu serentak April 2019 mendatang.

Penulis: Fitra

jasa website rumah theme

Pos terkait