METROSIDIK.CO.ID, JAKARTA — Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) memastikan bakal kembali mengajukan gugatan praperadilan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hal ini terkait penghentian penyidikan kasus dugaan korupsi penerbitan surat keterangan lunas bantuan likuiditas Bank Indonesia atau SKL BLBI dengan tersangka Sjamsul Nursalim dan istrinya Itjih Nursalim.
Pernyataan ini disampaikan Koordinator MAKI, Boyamin Saiman menanggapi putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan (Jaksel) yang tidak menerima gugatan praperadilan atas keputusan KPK menerbitkan SP3 kasus dugaan korupsi SKL BLBI. Dalam putusannya, hakim tunggal PN Jaksel, Alimin Ribut Sujono menilai MAKI tidak memiliki kedudukan hukum untuk melakukan gugatan. Hal ini lantaran MAKI sebagai organisasi masyarakat tidak memiliki surat keterangan terdaftar (SKT) sebagai organisasi masyarakat (ormas).
Boyamin mengatakan pihaknya menghormati putusan hakim tersebut. Untuk itu, setelah mengurus SKT, Boyamin memastikan akan kembali mempraperadilankan keputusan KPK menghentikan kasus dugaan korupsi SKL BLBI.
“Ini juga untuk memperjuangkan nasib petambak Dipasena yang sampai saat ini status kredit macet dan tidak bisa lagi pinjam bank,” kata Boyamin saat dikonfirmasi, Selasa (29/6/2021).
Sebelumnya, MAKI memang mempraperadilankan KPK. MAKI meyakini SP3 itu tidak sah, lantaran Sjamsul dan Itjih berperan aktif dalam perkara korupsi tersebut. Selain itu, Boyamin juga menyoroti dugaan gratifikasi yang diberikan kepada pejabat negara lainnya dalam kasus ini. Namun, dugaan ini tidak diselidiki lebih lanjut karena KPK menerbitkan SP3.
“Dulu penyelidikan ada dugaan gratifikasi. Nah, itu yang harusnya didalami oleh KPK dan dilanjutkan,” kata Boyamin saat membacakan gugatannya.
Akan tetapi, kuasa hukum KPK Togi Robson Sirait dan rekan-rekannya menyebut bahwa praperadilan yang diajukan MAKI tidak sah.
“Tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum serta tidak mengikat adalah dalil yang tidak berdasar, terlalu berlebihan dan mengada-ada,” kata Togi dalam eksepsinya.
MAKI dinilai tak punya kedudukan hukum, karena bukan tersangka, keluarga, ataupun kuasa hukum tersangka. Merujuk pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), pihak ketiga yang berkepentingan bisa berupa ormas atau lembaga swadaya masyarakat (LSM). Dengan catatan, ormas tersebut memiliki SKT dan masih aktif saat persidangan berlangsung.